Minggu, 12 Desember 2010

Bahan Kuliah Analisis Ekonomis Usaha Penyamakan Kulit

ANALISIS EKONOMI
USAHA PENYAMAKAN KULIT
(oleh: Jajang Gumilar, SPt.,MM, Fakultas Peternakan Unpad, 2010)

Walaupun analisis ekonomis ini bukan tanggung jawab bagian produksi secara langsung tetapi bagian produksi bertanggung jawab untuk memberikan data produksi dalam penghitungan kulit secara ekonomis.

Kulit dijual dalam satuan luas (per square foot), sehingga dalam perhitungan ekonomis kita menggunakan satuan tersebut. Pengecualian untuk sole leather dijual dalam satuan berat dan kulit-kulit yang dibuat secara khusus yang mungkin dijual perlembar atau dalam penghitungan lain seperti halnya kulit fur, dan reptil.

Biaya dalam terminologi keungan didefinisikan sebagai pengorbanan sumber-sumber daya yang diadakan untuk mendapatkan keuntungan atau mencapai tujuan dimasa datang. Secara umum terminologi biaya dalam hubungannya dengan tujuan biaya dibagi menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung

Biaya langsung merupakan biaya-biaya yang dapat diidentifikasi secara langsung pada suatu proses tertentu ataupun output tertentu. Biaya langsung dikenal juga dengan istilah variable cost, misalnya biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung. Biaya tidak langsung merupakan biaya-biaya yang tidak dapat diidentifikasi secara langsung pada suatu proses tertentu atau output tertentu, misalnya biaya administrasi, telefon dan lain-lain, biaya tidak langsung dikenal juga dengan istilah overhead cost pada kondisi tertentu biaya ini disebut juga sebagai biaya tetap (fixed cost).

Komponen utama biaya langsung (variable cost) pada industri pengolahan kulit yaitu bahan baku (kulit), bahan pembantu (zat kimia), tenaga kerja langsung, air, listrik, penanganan limbah, dan biaya pemeliharaan. Komponen Biaya tidak langsung (overhead cost) pada industri pengolahan kulit diantaranya adalah biaya administrasi, supervisi, penjualan, transportasi, komunikasi, sewa, bunga bank, pajak, asuransi, penyusutan gedung dan peralatan.

Biaya langsung (variable cost)
Variable cost adalah biaya yang langsung dipengeruhi oleh banyakya (unit) barang yang diproduksi. Untuk pengolahan kulit yang termasuk biaya langsung (variable cost) adalah sebagai berikut: Bahan baku (kulit mentah) harganya sangat berfluktuasi mencapai 50% tergantung pada ketersediaan kulit mentah dan permintaan pasar. Kulit mentah dibeli dengan satuan berat atau satuan lembar sedangkan penjualan dilakukan dalam satuan luas. Rasio luas yang dihasilkan diekspresikan dalam satuan sq ft per kg. Rasio tersebut dipengaruhi oleh jenis ternak, waktu pemotongan, dan teknik pengulitan.
- kulit garaman dengan berat lebih dari 20 kg
menghasilkan kulit jadi dengan luas 1 – 2 sq
ft/kg, dengan rataan 1,5 sq. ft./kg;
- kulit garaman dengan berat antara 10 – 20 kg menghasilkan kulit jadi dengan
luas 2,0 – 2,5 sq ft/kg
- kulit kecil (skin) dengan berat kulit garaman dibawah 4 kg menghasilkan
kulit jadi dengan luas antara 3,0 – 4,0 sq.ft/kg
Kulit mentah mengalami penyusutan sampai dengan 10% dari rasio tersebut, tergantung pada sumber kulit mentahnya. Biaya kulit mentah dapat mencapai 50% atau lebih dari total biaya kulit jadi, sehingga biaya kulit mentah menjadi factor utama yang diperhatikan oleh perusahaan pengolahan kulit.

Berkenaan dengan kontribusi biaya kulit mentah yang sangat besar maka sebaiknya proses penyamakan kulit dilakukan dengan hati-hati agar kulit tidak rusak. Penanganan yang harus hati-hati terutama melakukan penyesuaian antara tebal kulit mentah dengan permintaan ketebalan kulit jadi sehingga dapat mengurangi hilangnya kulit karena splitting dan shaving; meminimalisir limbah trimming; menghindari kerusakan mesin yang dapat menjadikan kulit bolong atau sobek. Maksimal kerusakan kulit pada proses produksi adalah 5%.

Kulit mentah dibeli secara keseluruhan/borongan, sehingga dapat berpengaruh apabila kualitas kulit jadinya banyak yang low grade apalagi kalau sampai banyak yang reject. Kulit mentah yang low grade apabila ingin dinaikan grade-nya dibutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang bahan bakunya memang sudah baik, oleh karena itu apabila akan membeli bahan baku harus dilakukan sortir (quality control) sebaik-baiknya.

Bahan pembantu (zat kimia) termasuk zat kimia untuk soaking, liming, tanning, peminyakan, pewarnaan, finishing dan lain-lain. Bahan kimia untuk proses basah (beam house) biasanya dihitung berdasarkan berat mengacu pada berat kulit mentah, proses tanning didasarkan pada berat bloten, proses dyeing didasarkan pada berat shaving, dan bahan kimia yang digunakan pada proses finishing dihitung secara keseluruhan tidak hanya zat kimia yang menempel pada kulit tetapi dihitung secara keseluruhan termasuk dengan zat kimia yang terbuang (over spray, kelebihan mencampur, dll).

Tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang langsung berhubungan dengan proses produksi kulit seperti tenaga kerja pada bagian beam house; proses tanning; proses drying, shaving, dan splitting; proses persiapan untuk finishing; dan proses finishing. Apabila seluruh biaya tenaga kerja langsung kita hitung maka komposisinya adalah sebagai berikut: beam house 12%; proses tanning 11%; proses drying, shaving, dan splitting 25%; persiapan untuk finishing 24%; dan proses finishing 28%. Pada umumnya kulit yang dapat dihasilkan per jam kerja tenaga kerja langsung adalah sebagai berikut: 17 sq ft per jam untuk kulit besar, 14 sq ft per jam untuk kulit sedang, dan 10 sq ft per jam untuk kulit kecil.

Utility, termasuk didalamnya adalah air, energi (listrik, panas, dan lampu), penanganan limbah, maintenance mesin. Besarnya biaya untuk utility tergantung dari kulit yang diproses, skala pabrik, lokasi, dan fasilitas yang ada.

Biaya tidak langsung (overhead cost)
Overhead cost adalah biaya yang tidak langsung dipengaruhi oleh banyaknya (unit) barang yang diproduksi biaya ini dikenal juga dengan istilah biaya tetap (fixed cost), untuk memperkirakan biaya tidak langsung biasanya didasarkan pada data historis perusahaan atau mengacu pada data perusahaan lain yang sejenis dengan skala usaha yang sama. Dalam situasi era perdagangan bebas, produksi dapat sangat berfluktuasi tidak hanya jumlahnya tetapi juga jenis produk yang diproduksi, hal ini tergantung pada ketersediaan produk dan permintaan pasar karena beberapa produk kulit bersifat seasonal. Walaupun produksi berfluktuasi tetapi biaya tetap pada umumnya relative tidak berfluktuasi. Biaya tidak langsung pada industri penyamakan kulit berkisar antara 10% – 20% dari total penjualan.

Kecepatan waktu produksi dipengaruhi oleh kecepatan proses dari bahan baku sampai menjadi kulit jadi (leather) dan akan berpengaruh terhadap kecepatan penjualan pula. Kecepatan waktu produksi ini berpengaruh terhadap perputaran modal (capital turnover), semakin cepat produksi semakin cepat dijual sehingga semakin cepat pula menerima pembayaran. Semakin pendek waktu mengeluarkan uang untuk proses produksi dengan penerimaan uang dari konsumen maka biaya modal menjadi lebih sedikit. Kecepatan waktu produksi juga berpengaruh terhadap kuantitas produksi dan kuantitas penjualan sehingga total biaya produksi menjadi lebih efisien.

Peningkatan efisiensi produksi dapat dilakukan dengan menggunakan pabrik, tenaga kerja, dll secara maksimum. Melakukan pengiriman sesuai dengan jadwal tanpa ada penundaan jadwal pengiriman, mengidentifikasi dan memperbaiki bottleneck di pabrik, waktu terbuang bagi tenaga kerja karena proses yang sebenarnya tidak memerlukan tenaga kerja (misalnya saat menunggu putaran drum).

Harga jual, pencarian harga jual yang termahal dengan pembayaran yang cepat masih menjadi strategi berbagai perusahaan pengolahan kulit. Pada jaman dulu pengurangan harga dibandingkan harga produsen lain menjadi yang paling umum dilakukan agar perusahaan dapat lebih kompetitif, tetapi mulai sekarang strategi penjualan seperti itu tidak dapat dilakukan secara langsung. Minimum harga jual yang diajukan seharusnya dapat menutup biaya produksi ditambah dengan keuntungan yang pantas.

Harga Pokok Produksi
Harga pokok produksi merupakan kumpulan biaya-biaya yang melekat pada suatu produk yang diproduksi oleh suatu perusahan. Ada tiga elemen pokok biaya dalam suatu perusahaan manufaktur, yaitu: biaya bahan baku (material cost), biaya tenaga kerja (labor cost), dan biaya produksi (indirect manufacturing expenses).
Biaya bahan baku terdiri dari direct mterial cost dan indirect material cost. Direct material cost adalah biaya semua bahan yang secara fisik dapat diidentifikasi sebagai bagian dari produk jadi dan biasanya merupakan bagian terbesar dari material pembentuk harga pokok produksi.
Biaya tenaga kerja dibagi menjadi direct labor cost dan indirect labor cost. Direct labor cost adalah semua biaya yang menyangkut gaji dan upah seluruh pekerja yang secara praktis dapat diidentifikasi dengan kegiatan dari pengolahan bahan baku menjadi produk jadi.
Indirect manufacturing expenses meliputi semua biaya produksi selain ongkos utama (direct mterial cost dan direct labor cost) yang bersifat menunjang atau memperlancar proses produksi dan dibebankan terhadap pabrik
Sebagai contoh harga pokok produksi pada industri penyamakan kulit secara tidak langsung adalah menghitung total biaya langsung seperti:
Biaya bahan baku (harga kulit mentah) : Rp. 15.000/kg
Biaya tenaga kerja langsung : Rp. 3.400/jam
Biaya zat kimia (keseluruhan) : Rp. 2.000/sq. ft
Biaya utility (peralatan, dll) : Rp. 500/sq. ft.
Catatan:
Kulit besar lebih dari 20 kg dapat menghasilkan 1,5 sq ft/kg kulit jadi, jadi biaya bahan baku per sq ft adalah 15.000/1,5 = Rp. 10.000/sq.ft.
Tingkat penyusutan kulit mentah adalah 10%, dan kerusakan produksi sebanyak 5%, jadi biaya bahan baku total adalah 10.000 + (15%X10.000) = Rp. 11.500/sq.ft.
Tenaga kerja dapat menghasilkan 17 sq ft/jam. Jadi biaya tenaga kerjanya adalah 3.400/17 = Rp. 200/sq ft
Jadi Harga Pokok Produksi Kulit tersebut adalah:

HPP = Biaya bahan baku + Biaya zat kimia + Biaya tenaga
kerja langsung + Biaya utility
HPP = Rp.11.500 + Rp. 2.000+ Rp.200 + Rp. 500
= Rp. 14.200 / sq ft

Laba Usaha
Laba usaha dikenal pula dengan marjin usaha, dikenal menjadi dua jenis yaitu: marjin kontribusi (contribution margin) atau marjin bruto (gross margin). Marjin kontribusi adalah kelebihan dari penjualan atas seluruh biaya variable. Marjin kontribusi dapat dinyatakan sebagai suatu angka yang menunjukkan total, sebagai suatu angka perunit, sebagai rasio, dan sebagai persentase. Marjin bruto adalah suatu pengertian yang digunakan secara luas, khususnya di dalam industri eceran. Marjin bruto dirumuskan sebagai kelebihan penjualan atas harga pokok penjualan (yaitu harga pokok barang dagangan yang dibuat atau dibeli dan dijual kembali).

Perbedaan antara marjin kontribusi dengan marjin bruto yaitu: kalau marjin kontribusi memusatkan perhatian pada penjualan dalam kitannya dengan seluruh perilaku biaya variable, sedangkan marjin bruto memusatkan perhatian pada penjualan dalam kaitannya dengan satu hal saja yaitu biaya perolehan barang dagangan yang telah dijual.

Sebagai contoh, harga jual kulit sapi atasan saat ini adalah Rp. 19.000/sq ft, oleh karena itu marjin/laba bruto penjualan kulit sapi tersebut adalah:
Laba Bruto = Penjualan – harga pokok produksi
Laba Bruto = Rp. 19.000 – Rp. 14.200 = Rp. 4.800

Break Event Point (BEP)
Break event point atau titik pulang pokok adalah suatu studi mengenai kaitan antara biaya, volume, dan laba dimana kondisi perusahaan memperoleh laba bersih sama dengan nol. Biaya terdiri dari biaya langsung (variable cost) yaitu biaya per unit barang dikalikan dengan volume produksi, biaya tidak langsung (overhead cost / fixed cost) yaitu biaya tetap yang dikeluarkan pada periode tertentu. Laba bersih adalah kelebihan dari penjualan atas seluruh variable cost dan fixed cost. Penjualan merupakan harga jual per unit barang dikalikan dengan volume barang terjual.
Laba bersih = Penjualan – variable cost – fixed cost
BEP adalah pada kondisi Laba bersih = 0
Sehingga, Penjualan = Variable cost + Fixed cost
(Q X P) = (Q X C) + Fc
Dimana, Q = jumlah
P = harga jual per sq.ft.
C = harga pokok produksi per sq.ft
Fc= total biaya tetap per periode
Contoh: Mengacu pada contoh sebelumnya dan apabila biaya tetap perusahaan sebesar Rp. 50.000.000,- per bulan maka agar perusahaan tidak mengalami kerugian (BEP) maka jumlah minimal kulit yag harus diproduksi adalah:
BEP  Q X P = Q X C + Fc
Q (P-C) = Fc
Q (19.000- 14.200) = 50.000.000
Q = 50.000.000/4.800
Q = 1.041,67 sq ft

TAHAPAN ANALISA PASAR:

1. MASALAH / SASARAN ANALISIS
2. RENCANA ANALISIS
3. MENGUMPULKAN INFORMASI
4. HASIL ANALISA
5. ANALISA INFORMASI

Selasa, 19 Oktober 2010

Resume Kuliah Teknologi Kulit ke 6 dan 7

PROSES PENYELESAIAN


Terdiri dari:
1. Netralisasi
2. Pewarnaan
3. Pelemakan
4. Pengeringan
5. Pementangan
6. Pengecatan
7. Pemanasan/seterika

Netralisasi  reaksi pengikatan zat warna pada substansi kulit tidak terlalu cepat sehingga zat warna dapat meresap kedalam substansi kulit sebelum berikatan

Tujuan  menetralkan substansi kulit samak dari asam-asam yang terikat maupun yang bebas
 penyamakan krom bermuatan positif sangat kuat  intensitas muatan positif dikurangi  zat warna bermuatan negative tidak terlalu cepat berikatan dengan substansi kulit

Zat kimia  Bicarbonat 2%
Borax 1 – 3 %


Pewarnaan  Pemberian zat warna yang dapat menyerap ke dalam jaringan kulit sehingga berfungsi sebagai warna dasar

 memantulkan warna dari cahaya
 terdapat ikatan rangkap
 yang mengandung gugus cromophore dinamakan chromogen  gugus ethylene, carbonyl, carbomine

Penggolongan zat warna:
1. Zat warna basis
2. Zat warna asam
3. Zat warna substansi
4. Zat warna belerang

Zat warna basis  garam dari basa zat warna –NH2 dengan asam anorganik

berionisasi dalam air : R-HN3Cl R-NH 3+ Cl-

 kurang baik untuk kulit samak krom

Zat warna asam  garam dari zat warna –SO3H dan atau –COOH dengan basa organik
Berionisasi dalam air: R-SO3Na R-SO3- + Na+  asam anionis  bisa untuk krom
Zat warna Substansi  sama dengan zat warna asam tetapi molekulnya lebih besar, reaktif, sensitive terhadap keasaman  pH > 5

Zat warna Belerang  mengandung sulfur dalam molekulnya, larut dalam basis (alkalis)

Pedoman praktis  pelarut air suling
 temperature 80 – 85 0C
 banyaknya air 20 – 25 kali zat warna
 zat warna belerang dilarutkan  Na2S kemudian di filtrasi

PELEMAKAN
 agar kulit menjadi lemas dan lentur setelah dikeringkan
 minyak dalam air (W/O)
 perlu emulgator  teepol, sabun, minyak tersulfon,

Terbanyak digunakan  minyak tersulfon
Fungsi lemak  pelumas serat kulit yang bergesekan  meningkatkan fleksibilitas, kemuluran, dan daya tahan sobek

Asal lemak  hewan dan tumbuhan  minyak wool, minyak ikan, minyak olyf, minyak jarak

Pengikatan lemak  lemak yang masuk ke dalam kulit sebagian diikat oleh serat kolagen

Kulit samak krom  dilakukan pengemulsian
 tinggi derajat sulfonasi  kadar lemak tinggi
 tinggi kadar Cr2O3  pengikatan lemak tinggi
 ikatan terjadi antara lemak dengan krom dan substansi kulit

Metode Pelemakan:
1. Meminyaki permukaan dengan menulas
Kulit sebelum dikeringkan  zat penyamak tidak keluar, cegah oksidasi, rajah lebih elastis  minyak ikan, campuran minyak ikan dan minyak mineral, minyak tersulfon

2. Pelemakan pada tong berputar
Tujuan sam air 500C  hasil lebih bagus
3. Pencelupan pada lemak panas
Tujuan  memasukan lemak padat pada jaringan kulit (impregnasi)  kulit teknis  paraffin padat, wax, talg, dan hars  suhu 850C  sisa lemak dicuci pakai larutan soda dan dinetralisir dengan asam
4. Melicker
 untuk kulit box, sandang, dan kulit ringan lainnya
 minyak atau lemak tersulfon, sabun, kuning telur, dan vetalkohol sulfat
Pengenceran  tambah emulgator diencerkan dengan air panas sedikit-sedikit
Cara  kulit diputar dalam 100 – 200% air 30 – 400C  masukan cairan licker dan diputar 45 – 60 menit

Pengeluaran air dan pengeringan kulit samak
 air dikeluarkan secara mekanis  dijemur/diagin-anginkan
Faktor berpengaruh 1. Struktur tenunan
2. Zat higroskopis dalam kulit
3. Kadar air udara
4. Suhu udara
5. Aliran udara
Pengeringan nabati  Rh 94% - 60 %; keceptan udara 40 – 70 m/mnt; T 24-250C

Pengerjaan berikutnya  mekanis : 1. Pengetunan (Stacking)
2. Pementangan (Recking/toggling)
3. Penghampelasan (buffing)
4. Perapihan (trimming)

PENGECATAN
Pengecatan  warna hanya melekat di permukaan dalam media bahan perekat
Komponen zat 
1. zat warna (pigmen)
Zat anorganis mengandung logam (Pigmen kuning = PbCr4/Pb kromat, CaS/calsium sulfide; Pigmen merah = Fe2O3 /besi oksida, Pb3O4/ timbale oksida; Pigmen biru= FeCl6; pigmen hitam  jelaga)
2. bahan perekat (binder)
Fungsi melekatkan warna dan memperbaiki permukaan kulit
Contoh  collodium, varnish, casein, albumine, dextrin, dan bahan plastik
3. pelunak (softener)
Fungsi  memperlunak bahan perekat yang umumnya keras dalam keadaan kering sehingga memenuhi syarat-syarat elastisitas kulit
Contoh  tributyl phosphate (C4H9)3PO4, triphenyl phosphate (C6H5)3PO4, diaethyl phtalat C6H4(COOC2H5)6, dibuthylptalat C6H4(COOC4H9)2

Golongan Cat  didasarkan nama bahan perekatnya:
1. Cat kollodium
2. Cat protein
3. Cat plastik

Untuk kulit sandang (jaket)  cat protein  bersifat porus untuk bernapas dan penguapan air.

Pelarut  bensin, bensol, toluene, xylol, methyl alcohol, aethyl alcohol, buthyl alcohol, keton, ester, aethyl acetate dan aether

Contoh:
Pigmen : Eukanol schwart ………………………… 100 gr
Perekat : Cacein ……………………………………. 30 gr
Pelarut : Amoniak …………………………………. 8 cc
Pelunak : Turkish Red Oil ………………………….. 8 – 12 cc
Pengkilat : Eukanol Glanz N …………………………. 20 – 30 cc
Pengencer : Air ………………………………………… sd/ 100 cc

Cara  pewarna pakai sikat  pakai kwas/sprygun

Fiksasi  untuk mengikat zat warna
Cat protein  semprot formalin, press panas, glacing machine, rol press (kulit sol)

Resume Kuliah Teknologi Kulit ke 3 dan 4

PROSES SIAP SAMAK


Tujuan: Membuat Kulit dalam Keadaan Siap Untuk Dikerjakan Dalam Larutan Penyamak  Beam House

Keperluan Air : 5 -6 m3 untuk Tiap 100 kg Kulit

Macam-Macam Air:
1. Air Hujan
2. Air Tanah
3. Air Permukaan (sungai, rawa, danau)  perlu di jernihkan

Zat yang perlu diperhatikan dalam air: - Ca dan Mg  kesadahan air:
1. Kesadahan sementara  dihilangkan dengan pemanasan
2. Kesadahan tetap

Penentuan Derajat Kesadahan:
1. 10 Kesadahan Jerman (0 KD) = 1 mg CaO/100 ml air
2. 10 Kesadahan Perancis (0 KP) = 1 mg CaCO3/100 ml air
3. 10 Kesadahan Inggris (0 KI) = 1 mg CaO/70 ml air

Pembagian jenis air menurut derajat kesadahannya:

Jenis Air Kesadahan (0 KD)
Air Lunak 0 – 8
Air Setengah Lunak 8 – 16
Air Sadah 16 – 20
Air Sangat Sadah > 20

Metoda Penurunan Kesadahan Air:
1. Metoda Kapur Soda Ca(OH)2 dan Na2CO3
2. Metoda Permutit  SiO2Al2O3Na2O.6H2O
3. Metoda Wolfatit (W)  bahan syntetis

Persyaratan air untuk proses kulit:
1. Bersih dan jernih
2. Tidak sadah
3. Logam atau zat besi < 5 mg/liter
4. Kwantitas cukup


PELEMASAN ATAU PERENDAMAN

Tujuan: 1. Rehidrasi kulit kering atau kulit awet
2. Membersihkan kulit dari kotoran
3. Menghilangkan garam/zat kimia proses pengawetan
4. Melarutkan protein lain

Zat Kimia: zat memiliki sifat desinfektan dan pembasah (wetting agent)  teepol, molescal, cismolan

Cara Kerja: 1. Kulit kering  800% - 1000% air
molescal atau cismolan 1- 2 permil
Asam Formiat 1 – 5 permil
NaOH dan KOH 1 – 2 permil

2. Kulit Pikel  Netralisir dengan NaHCO3 1 – 2 permil
3. Kulit Garaman  R1/ Rendam 12 – 24 jam, tambah desinfektan
R2/ Air mengalir


PENGAPURAN
Tujuan: melepaskan epidermis beserta bulunya dan membuka tenunan kulit
Menyabunkan lemak agar mudah larut dalam air untuk dibuang

Zat kimia: - Sulfida  Na, Ca, NH2, dan As
 merusak membrane basalis  epidermis lepas dan bulu lepas
 memutus jembatan S – S dari sistin menjadi sistein
- Hydroksida  Ca, Ba, Na, K
 membuka tenunan kulit

Cara Kerja: 1. Cara peleburan  memperoleh “bulu hidup”
Kulit dihamparkan setelah perendaman  bagian sub cutis dilabur
dengan adonan:
R : Na2S : 2 – 4% dari bobot kulit basah
Ca(OH)2 : 5 – 10% dari bobot kulit basah
H2O : 300% dari bobot kulit basah
Biarkan 1 – 2 jam  digerus degan pisau cuci bersih  rendam
dalam larutan Ca(OH)2

2. Cara perendaman
R : Na2S : 2 – 4 %
Ca(OH)2 : 5 – 10%
H2O : 300%
Perlu diaduk  buka tenunan


BUANG KAPUR
Tujuan: Agar kapur yang ada pada kulit menjadi hilang/berkurang

Cara membuang Kapur:
1. Kapur bebas
 dicuci dengn air biasa

2. Kapur terikat
Zat kimia : asam organic  HCl, H2SO4,
Asam anorganik  HCOOH, CH3COOH
Garam  (NH4)2SO4
Preparat khusu  decaltal
Alat pengetes  larutan penolphtheline (PP)


PELUMATAN (BATTING)
Tujuan  membuka tenunan kulit lebih sempurna dengan system enzim

Enzime  protease dan lipase
Oropon

Faktor-Faktor yang berpengaruh:
1. Temperatur, 50 0C
2. pH  7,5 – 8,5
3. Aktivator  garam ammonium

R/ Bahan Pelumat
Air 500C, 300%
Enzilon

PICKLE
Tujuan : mengawetkan kulit, dan menyiapkan kulit agar dapat langsung disamak
Menurunkan pH kulit menjadi 3

Zat Kimia: asam  H2SO4, HCl, HCOOH
Garam  NaCl, Na2SO4

Resume Kuliah Teknologi Kulit ke 4 dan 5

PROSES PENYAMAKAN


Penyamakan adalah suatu rentetan pengerjaan pada kulit dengan zat-zat atau bahan-bahan penyamak sehingga kulit yang semula labil terhadap pengruh kimia, fisis, dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu

Secara Garis Besar Bahan Penyamak:
1. Organik
- nabati
- syntetis
- lemak
- aldehyd
2. Anorganik (mineral)
- crom
- alumunium
- ferum
- zingkum

Secara Praktis Bahan Penyamak dibagi:
1. Nabati
2. Syntetis
3. Aldehyde dan Minyak
4. Mineral

Nabati: substansi yang terdapat didalam bahan penyamak yang mempunyai daya dapat merubah kulit mentah menjadi kulit samak
- Tidak dipikel
- Cotoh: kulit sol, splitidico, pakaian kuda, kulit teknis, dan kulit lapis
- Tumbuhan Penghasil: - Mimosa,eik, mangrove dan frichten  bark
- Quehrancho, kastanin  kayu
- Valonen, trillc, divi-divi, algorabilia, myrobalam  buah
- Sumak, gambir  daun
- Produksi Dunia: - Quebracho 38%
- Mimosa  16%
- Kastanin  10%
- Eik  6%
- Mirobalan 5%
- Valonea, trillo, fitchen  4%
- Gambir  3%
- Lainnya 18%
- Mangrove: - Rhizophora Mucornata, Rhizophora Conlugata
- kadar zat penyamak  24 - 40%
- warna terlalu merah gelap, hasil samak tidak berisi
- Quebarcho: - Quebarcho lorentzi  ekstraksi kayu
- Gambir: - Uncaria Gambir  ekstrak daun dan ranting
- Sifat umum: - berat molekul tinggi, kompleks, gugus hydroksil phenolis
- rasa astringen (sepat)
- membentuk endapan dgn larutan garam berat
- endapat dgn gelatin
- warna biru tua
- bereaksi asam  COOH
- Procter & Stenhouse, membagi penyamak nabati pada 180 – 200 0C:
- Pyrogallol  C6H3(OH)3
- Pyrocatechin C6H4(OH)2
- Freudorberg, membagi atas sifat zat penyamak:
- zat penyamak dapat terhidrolisis asan fenol
- zat penyamak terkondensasi  ekstrak  katechine
- Teori penyamakan nabati:
1. reaksi antara –NH3+ dari kulit dengan anion zat penyamak  perlu kondisi asam
2. pengikatan semi polar
3. reaksi fisik  adsorbsi zat penyamak oleh serat kulit
- Metode penyamakan nabati:
a. Metoda lama:
1. Farbengang  pencelupan awal pada 6 – 8 bak  12-16 hr
2. Versenk  pencelupan dalam zat penyamak 30Be  1 mg
3. Versatz (penjenuhan)  sama dg versenk 4-6 bln
b. Metode dipercepat
1. Farbengang dan versenk  sama
2. diputar pada tong 6 – 8 rpm selama 3 hari, pada cairan zat penyamak 12 -16 Be.
c. Metoda cepat
1. langsung menggunakan tong putar 4 – 8 rpm selama 5-7 hari pada larutan penyamak 8 -15 Be

Syntetis: bahan penyamaknya hasil syntetis  Neradol D dari Stiasny 1911

- Penggolongan secara umum:
- Syntesis alifatis  derivat paraffin  sulfonat, alcohol, lemak
- Syntesis aromatis  phenolis, non phenolis, bensol, kresol, katachin, aniline, nitrobensol
- Penggolongan secara praktis:
- zat penyamak pembantu  tidak punya daya menyamak  memperbaiki proses penyamakan  asam-asam sulfon
- zat penyamak pengganti  menggantikan zat penyamak  resin syntesis
- zat penyamak kombinasi  sebagai pembantu atau pengganti  basyntan, tanigan, irgatan

Minyak/Lemak: dapat menyamak  trygliserida tak jenuh  angka yodium 120-160
- Teori pengikatan minyak pada kulit:
- Knap  lemak diserap kulit kemudian oksidasi  asam oxy berikatan dengan kulit
- Fahrian,  oksidasi ikatan rangkap 2 atom O  peroksida O-O bereaksi dengan gugus amino dari kolagen
- Mathur  hydrolisa triglyserida  lemaknya terpisah  asam oxy yg berikatan dengan kolagen

Aldehyd: hanya untuk kombinasi terutama pada kulit suede.
- Reaksi pengikatan:
1. pengikatan methyloamine
2. pengikatan methylol pada rantai peptida

Mineral: sebagai bahan penyamak utama  logam dapat membentuk molekul besar yang mempunyai daya menyamak kulit  krom, alumunium, ferum, cobalt, ziroonium

- Kimia krom : - valensi 2,3,4,5,6,7
- masking  sisa asam dalam molekul komplek  reaktifitas berkurang  baik untuk permulaan penyamakan
- hydrolisa krom oleh air (Cr……H2O)  (Cr….OH)- + N+
- agregasi  olation (pengikatan molekul yang sama menjadi lebih besar dengan menghasilkan air)  Polymerisasi (pengikatan molekul yang sama menjadi lebih besar tanpa mengeluarkan air)  daya menyamak
- basisitas  perbandingan antara valensi OH dan valensi Cr  Cr +++ 0%; Cr(OH)++Cl2 33,33%; Cr(OH)2+Cl 66,66%; Cr(OH)3 100%.
- Teori Penyamakan krom
- Teori Knap  pengendapan krom pada serat-serat kulit
- Teori Thomas, Kelly, Wilason (teori ionogen) ikatan zat penyamak pada kolagen terjadi oleh ion-ion sehingga terbentuk garam
-Teori Stiasny (teori koordinasi kompleks)  ada ikatan coordinatif antara krom kompleks dan kolagen
- Teori Gustavson (teori zwiter ion)  mula-mula terjadi ikatan antara kation kompleks dengan kolagen kemudian terjadi ikatan koordinatif antara gugus peptide dari kolagen dengan kompleks krom
- Prosedur penyamakan krom
- dilakukan pada drum berputar, haspel, bak aduk  Bantu penyerapan zat penyamak
- Kulit dimasukan dalam drum putar
- Air 70% dari berat bloten + garam 2% putar 5 menit
- masukan krom, putar 2 jam
- tambahkan Na2CO3 9% dari jumlah krom, 4 X 15’  basisitas naik, putar 3 jam  pH 4,5
- kematangan penyamakan  uji didih  ambil sepotong kulit, ukur dengan sedikit tarikan, masukan dalam air mendidih 10’, ukur kembali kalau berkerut penyamakan belum baik

Resume Kuliah 1 dan 2

DASAR TEKNOLOGI KULIT
Timbulnya ilmu ini bersifat empiris.
Umpamanya:
• Orang Indian kuno (INCA) mencoba-coba merendam kulit hewan segar dalam rendaman kulit kayu yang rasanya kesad ( Gambir, Mangrove, Mimosa, Golongan Dicotyledon)
• Orang Eskimo mencoba dengan otak beruang ternyata membuat kulit hewan menjadi awet dan lebih lemas (Kulit Beludru)

Dengan berkembangnya ilmu kimia, fisika, ilmu teknologi kulit ini mengikutinya.


A. ASPEK UMUM

PENGERTIAN KULIT
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan mempunyai beberapa fungsi yang penting besarnya ± 10-12% dari tubuh.

FUNGSI KULIT
1.Melindungi tubuh dari kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.
2.Memelihara temperatur tubuh
3.Organ peraba.
4.Menyimpan lemak dalam lapisan subcutan
5.Memelihara tubuh.
6.Rambut mempunyai fungsi sebagai isolasi untuk mencegah kepanasan/kedinginan.
7.Warna bulu dapat digunakan untuk menyamar.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kulit yang dihasilkan baik kualitas/kuantitasnya adalah:
1. Umur
2. Jumlah dan kualitas pakan yg diberikan
3. Jenis ternak
4. Penyakit
5. Cara pemeliharaan
6. Jenis kelamin
7. Musim
8. Cara penanganan dan pengolahan kulit.

 PENGULITAN
Adalah suatu kegiatan memisahkan kulit dari tubuh ternak yang sudah disembelih, sehingga dihasilkan kulit segar.

KULIT : 1.Kulit mentah/segar
2.Kulit mentah/kering
 Penjemuran /ruang pemanas

KULIT MENTAH
Yang dimaksud kulit mentah adalah bahan baku kulit yang baru ditanggalkan dari hewannya sampai yang telah mengalami proses-proses pengawetan.

Pada umumnya hewan : (Mamalia, Reptil, Aves, Pices, Amphybia)  kulitnya dapat
diawetkan/disamak

Paling banyak digunakan adalah kulit :
 Sapi, kerbau, kambing, dan domba

Untuk keperluan khusus:
 Anjing, beruang, buaya, ular, dan ikan.

Kulit hewan pada umumnya mempunyai sifat alami yang sangat bervariasi.
Diantaranya :
• Faktor umur
• Keturunan
• Lingkungan
• Management
• Bangsa (Breed) dll

Contoh:
• Kulit sapi FH ≠ Sapi potong Ongole
• Kulit sapi FH jantan ≠ Sapi FH betina
• Kulit sapi FH tua ≠ Sapi FH muda
• Kulit sapi FH kurus ≠ Sapi FH gemuk
meskipun satu bangsa.


B. SIFAT UMUM KULIT MENTAH

Kulit mentah bersifat mudah busuk.
Sesuai dengan bentuk badan hewan, kulit dibagi menurut jaringan collagen yang terpadat, longgar bahkan sampai ke tipis.
Diantaranya:
• Punggung
• Perut
• Kaki
• Leher
• Ekor
• Kepala

Daerah satu dan lainnya mempunyai sifat yang berbeda. Secara lateral (sisi), Daerah punggung tertebal dan berangsur-angsur menipis kedaerah perut.


C. SIFAT FISIK KULIT MENTAH

1. MAKROSKOPIS
Berbagai hewan mempunyai bentuk kulit mentah yang berbeda sesuai dengan bentuk hewannya.
Contoh:
• Kulit ular memanjang dan bersisik
• Kulit babi bundar
• Kulit buaya mempunyai lapisan tanduk
Berbungkul-bungkul.
• Kulit kambing mempunyai bulu rambut
• Kulit domba berbulu ikal

Bentuk kulit yang dipakai sebagai dasar adalah bentuk umum dari hewan sapi, kerbau, kambing, dan domba.


Untuk memperoleh hasil yang mendekati homogenitas, maka kulit dibagi secara tofografi menjadi beberapa daerah:

a. Daerah croupon (butt)
b. Daerah kepala dan leher
c. Daerah kaki, perut, dan ekor


PERTUMBUHAN KULIT
Tumbuh pada fase embrionik minggu ke 4 – 5
Berasal dari dua bagian embrionik:
a. Epidermis  ectoderm
b. Dermis  mesoderm

2. MIKROSKOPIS
Secara histologis kulit hewan dibagi menjadi 3 bagian :
a. Lapisan epidermis
b. Lapisan dermis/corium/cutis
c. Lapisan hypodermis/sub cutis

A. Epidermis
- Lapisan bagian luar, terdiri dari sel-sel keratin, sel-sel epithel yang dapat berkembangbiak.
- Berstruktur seluler
- Tebalnya 1% dari tebal kulit
- Kulitnya keras/banyak sel-sel tua/sel-sel mati

- terdiri dari 5 lapisan ( dalam  luar)
1. Stratum Basale/Germinativum
2. Stratum Spinosum
3. Stratum Granulosum
4. Stratum Lucidum
5. Stratum Corneum.

B. Dermis/corium/cutis
- Bukan sel-sel, tetapi berupa serabut-serabut yang tersusun seperti anyaman yang halus.
- Tenunan pengikat yang padat, yang kepadatannya tergantung pada jenis ternak, umur.
- Serabut terdiri dari serabut kolagen, elastin dan retikulin  menentukan kulit jadi.
- Disebut kulit sebenarnya, karena merupakan bahan dasar utama dalam proses penyamakan kulit yang akan diubah menjadi Leather.
- Tebalnya ± 80-85% dari tebal kulit.
- Lapisan ini dibedakan menjadi 2 bagian:
a. Pars papilaris (luar)
b. Pars reticularis (dalam)
 antara kedua bagian ini tidak ada pembatas
yang jelas.

a. Pars papilaris:
- Menembus kedalam papilar
- Lapisan tipis, mengandung serabut penyambung yang jarang.
- Mempunyai fungsi khusus yaitu menghubungkan khorium dan epidermis.
- Daerah kantong rambut, sel lemak kelenjar keringat, kelenjar lemak dan kelenjar sebaceous.
- Menentukan rupa dari kulit samak
- Serabut kolagen, elastin yang bertanggungjawab terhadap elastisitas dan kekuatan kulit.


b. Pars Reticularis
- Lebih tebal dari Pars papilaris (tebal pada hewan besar = 75 -85%, pada hewan kecil 45-50%)
- Terdiri dari jaringan penyambung yang padat
- Sel-sel lebih sedikit, serabut tenunan pengikat yang lebih banyak daripada sap papilaris
- Serabut kolagen, elastin yang teratur
- Terdapat pembuluh darah, serat-serat dan tenunan lemak.


C.Hypodermis/Sub cutis
- Lapisan terdalam dari kulit
- Terdiri dari jaringan penyambung yang menghubungkan khorium secara longgar dengan bagian tubuh yang berdekatan  memungkinkan dapat bergeser terhadap bagaian tubuh.
- Terdiri dari kolagen, elastin dan sel-sel lemak
- Pada proses penyamakan kulit lapisan ini dibuang secara mekanik dalam proses Fleshing


D. SIFAT KIMIA KULIT MENTAH
1.Unsur pokok non protein
a. Lipid…………………… 1,5%
b. Karbohidrat………….. 0,4 – 1%
c. Mineral……………….. 0,5 %
d. Enzym…………………. sedikit
e. Vitamin………………… sedikit

2.Unsur pokok protein
a. Protein berbentuk (Fibrous protein)
- collagen
- keratine
- elastin
b. Protein tak berbentuk (Globular protein)
- Albumin
- Globulin












II. PENGAWETAN KULIT

Sebelum dilakukan proses pengawetan, kulit harus dalam keadaan bersih dari kotoran: (feses, urine, tanah, dll).

Kotoran dapat menyebabkan:
• Hasil pengawetan kurang baik
• Kebusukan dipercepat

Pembersihan kulit segera dilakukan setelah pengulitan.
Pengawetan harus dilakukan paling lama 5 jam setelah pengulitan.

Prinsip umum pengawetan kulit:
• Pengeringan
• Penambahan bahan-bahan pengawet

Tujuan:
• Mematikan bakteri pembusuk
• Menonaktifkan bakteri yang masih hidup

Perlakuan Kadar air kulit maksimal (%)
Pengeringan
Bahan pengawet
Kombinasi 12-15
40
25-30

Pengeringan:
• Penjemuran
• Pendiangan
• Mesin pengering






A. Pengawetan dengan Penjemuran

Cara ini dilakukan di negara-negara tropis.
Negara produsen : India, Cina, Afrika, Amerika Serikat, dan Indonesia

Bahan pengawet 
Senyawa Natrium arsenat, Cortimol G, Formalin, Antimusin Cp, Garam jenuh.

R/ Larutan 1-2% arsen 5 menit
Atau 1-2 ‰ cortimol
Atau 2 gr/liter

Cara kerja :
Kulit dicelupkan ke dalam larutan arsen/cortimol. Pentangkan pada bingkai, jemur dengan kemiringan 600, permukaan daging mengarah ke atas, menghadap utara-selatan.

Lama penjemuran:
Kulit tebal (sapi, kerbau, kuda)…………….. 2-4 hari
Kulit tipis (domba, kambing, kelinci)……… 1-2 hari

B. Pengawetan dengan Garam

Pengawetan dengan cara ini dilakukan sebagai pengawetan sementara.

Garam yang biasa dipakai :
• NaCl
• Garam khari (NaCl 50% + Na2SO4 50%)

Garam khari : mempunyai sifat menarik molekul air untuk pembentukan kristalnya sehingga sifat higroskopis dari garam NaCl dapat dikurangi.



Garam yang baik mengandung Ca & Mg ≤ 2%

Pengawetan kulit dalam jumlah besar diperlukan khusus dengan syarat:
1. Tidak mudah insekta untuk tumbuh & berkembang biak.
2. Orang dapat bergerak bebas untuk mengerjakannnya.
3. Lantai berlapis beton, dengan kemiringan 100 dari garis horisontal (ada juga dengan lantai cembung).

Cara Penggaraman I (kering)
NaCl 40% dari berat kulit dapat disimpan selama 1 bulan.

Cara Penggaraman II (basah)
NaCl 30% dari berat kulit dapat disimpan selama 3 minggu.

Yang perlu diperhatikan dalam penggaraman.
1. Kemurnian garam  hasilnya lebih baik
Terlalu tinggi kadar Ca & Mg  sangat higroskopis
Beberapa zat logam  menyebabkan warna-warna
yang tidak disukai & sukar dihilangkan
2. Jangan menggunakan garam bekas
3. Kulit segar harus bersih dari tenunan lemak
4. Tumpukan kulit jangan terlalu tinggi


C. Pengawetan Dengan Pickle
Pickle adalah cairan yang terdiri dari. Larutan garam dapur (NaCl) dengan asam.
• H2SO4
• HCOOH (formiat)




Garam bersifat : mencegah pembengkakan kulit
oleh asam.
Asam bersifat bakteriostatik.

Kulit yang diawet tahan selama 1 tahun rendaman dilakukan oleh pabrik kulit besar (efisiensi dalam produksi)

Keuntungan:
1. Mutu kulit segera diketahui, bersih dari bulu dan kotoran lain.
2. Ruang angkat menjadi lebih kecil
3. Dapat langsung disamak  eksport

Resep pickle:

R/ Air : 100%  dari bobot kulit siap samak
NaCl : 10-20% pH : 3,5 – 4,0
H2SO4: 1,5-2,3%

R/ Air : 100%  dari bobot kulit siap samak
NaCl : 8% pH : 3,5 – 4
HCOOH: 0,8%
Bila diperlukan tambah fungisida/insektisida

D.Pedoman Kulit Awet
Menilai kulit awet:
1. Penciuman : memasuki ruang khusus (gudang)
Tercium bau busuk  ada kerusakan

2. Inspeksi
Dilihat lembar demi lembar dan perhatikan
• Kulit harus bersih
• Telentang dengan baik
• Warna yang merata
• Tidak ada warna yang mencurigakan


3.Palpasi
• Daerah yang dicurigakan diraba, ditekan bandingkan dengan baik
• Mencabut bulunya, yang busuk biasanya lebih lunak

Klasifikasi Nilai Mutu Kulit Awet
1. Primer  mutu yang terbaik
2. Intermediates  mutu pertengahan
3. Seconds  mutu kedua
4. Thirds  mutu ketiga
5. Rejects  mutu yang ditolak

SNI No ;

ISTILAH KULIT
1. Hide : Berasal dari kulit hewan besar yang dewasa (sapi, kerbau, badak, unta, paus) yang beratnya untuk setiap lembar kulit 15 kg atau lebih.

2. Skin : Berasal dari kulit hewan kecil yang sudah dewasa (domba, kambing, babi, unggas, reptil, ikan) yang beratnya kurang dari 15 kg atau dapat juga dipakai untuk kulit hewan besar yang belum dewasa (anak sapi, anak kuda).

3. Fur : Istilah yang digunakan untuk kulit berbulu yang telah mengalami proses penyamakan (domba, kelinci, minx, fox).

4. Pelt : Istilah yang digunakan untuk kulit berbulu yang mentah segar (belum disamak).

5. Furskin : Istilah kulit bulu yang telah diawetkan.

6. Rawhide : Istilah kulit yang tidak berbulu dan
telah mengalami pengawetan.

Minggu, 16 Mei 2010

PRODUCTION IDENTIFICATION AND ECONOMIC ANALISYS OF BUFFALO HIDE CRACKER AT PRODUCER IN CENTRE OF LEATHER INDUSTRY SUKAREGANG, GARUT

PRODUCTION IDENTIFICATION AND ECONOMIC ANALISYS OF
BUFFALO HIDE CRACKER AT PRODUCER IN CENTRE
OF LEATHER INDUSTRY SUKAREGANG, GARUT

Jajang Gumilar
Faculty of Animal Husbandry - Unpad

Abstract
The aims of this research were to identify of production process and
economic analysis of buffalo hide cracker that produce in centre of leather
industry Sukaregang, Garut. Method that used was case study at PD. Sari
Rasa. Observation has been held on all of the process stages to identified
production process. Economic analysis was done by identification all of
the cost that used to produce buffalo hide crackers. The buffalo hide
cracker has specific production stages begin from soaking, slicing,
burning, steaming, drying, scudding, cutting, first sun burning, flavouring,
second sun burning, first fried, second fried, and packaging. Buffalo hide
cracker production cost at PD. Sari Rasa was Rp. 66.708 per kg and
contribution margin was Rp. 869.588 per month.

Key words: production process, economic analysis, buffalo hide cracker

IDENTIFIKASI PROSES PRODUKSI DAN ANALISIS EKONOMIS
KERUPUK KULIT KERBAU PADA PRODUSEN DI SENTRA
INDUSTRI KULIT SUKAREGANG, GARUT

Jajang Gumilar
Fakultas Peternakan Unpad
(dipublikasikan pada Proseding Seminar Nasional Pembangunan Peternakan Berkelanjutan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2009)


Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses produksi dan analisis
ekonomis kerupuk kulit kerbau yang diproduksi di sentra industri kulit
Sukaregang, Kabupaten Garut. Metode yang dilakukan adalah metode
studi kasus di PD. Sari Rasa. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh
prosedur dan tahapan pembuatan kerupuk kulit kerbau untuk
mengidentifikasi proses produksi. Analisis ekonomis dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul pada saat pembuatan kerupuk
kulit kerbau sampai dengan proses penjualan. Proses produksi kerupuk
kulit kerbau memiliki tahapan tertentu dari mulai perendaman bahan
baku, penyasapan, pembakaran bulu, perebusan, penirisan, pengerokan
bulu, pemotongan, penjemuran I, pembumbuan, penjemuran II,
penggorengan I, penggorengan II, sampai dengan pengemasan. Harga
pokok produksi kerupuk kulit kerbau di PD. Sari Rasa adalah Rp. 66.708
per kg, dan margin kontribusi sebesar Rp. 869.588 per bulan.

Kata Kunci: proses produksi, analisis ekonomis, kerupuk kulit kerbau


Pendahuluan
Pemanfaatan kulit sebagi salah satu hasil sampingan (by product)
sangat beragam. Pengrajin yang bergerak dalam pengolahan kulit
memproduksi kulit menjadi makanan dan non makanan. Produk makanan
yang berasal dari kulit seperti kerupuk kulit, kerupuk dorokdok, kerupuk
dengkul, kerecek, sate kulit, dan lain sebagainya. Produk non makanan
yang berbahan baku kulit seperti produk fashion (jaket, baju, rok, celana,
sepatu, tas, sabuk, dll), perlengkapan olah raga (bola, sarung tangan golf,
dll), perlengkapan otomotif (sarung jok, interior mobil, dll), perlengkapan
kerja (jaket pengaman, safety shoes, chamois, belt, dll), dan lain
sebagainya.
Kulit kerbau sebagai salah satu jenis kulit yang banyak tersedia di
tempat pemotongan hewan sebagai hasil ikutan dari kerbau yang
disembelih untuk keperluan daging kerbau banyak diolah menjadi produk
makanan. Ketersediaan kulit kerbau secara nasional dari tahun ketahun
mengalami peningkatan hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah ternak
kerbau yang dipotong. Berdasarkan data Statistik Indonesia, selama
tahun 2006 jumlah kerbau yang dipotong mencapai 92,636 ekor dan
pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 2,3 % yaitu sebanyak
94,799 ekor. Tempat pemotongan paling banyak dilakukan di Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Utara. Populasi kerbau di Jawa Barat
sebetulnya bukan yang terbanyak, hanya menempati posisi keempat.
Berikut adalah jumlah populasi kerbau berdasarkan data statistik
Indonesia Tahun 2007. Provinsi Nangroe Aceh Daruslam (390.334 ekor),
Sumtera Barat (192.148 ekor), Sumatera Utara (189.167 ekor), dan Jawa
Barat (149.030 ekor). Banyaknya kerbau yang dipotong di Jawa Barat
berpengaruh terhadap ketersediaan kulit kerbau sebagai bahan baku
produk pangan seperti kerupuk kulit.
Kerupuk kulit sudah berkembang dan populer di Indonesia, bahkan
dibeberapa Negara di Asia tenggara seperti Vietnam, dan Thailand. Di
Indonesia kerupuk kulit diproduksi di berbagai wilayah dengan nama yang
berbeda-beda. Di Jawa Barat dikenal dengan nama kerupuk kulit, di Jawa
Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan sebutan kerupuk rambak. Selain
di Pulau Jawa, kerupuk kulit juga di produksi di pulau-pulau lain seperti di
Sumatera, dan Kalimantan.
Kulit kerbau seperti halnya kulit ternak pada umumnya tersusun
dari jaringan yang secara histologis terdiri dari epidermis, corium dan
jaringan-jaringan lain yang terdapat di dalamnya. Epidermis merupakan
Epitheel squamousa complex berupa protein fibrous yaitu keratin, selain
itu terdapat pula lemak, karbohidrat, dan zat warna melanin. Corium
terdiri dari protein fibrous, protein globular, karbohidrat, mineral, enzim,
dan air (Djojowidagdo, 1988).
Kandungan total protein pada kulit kerbau hampir sama dengan
kandungan protein kulit pada umumnya yaitu 33 persen, sebagian besar
bentuk protein kulit adalah protein fibrous, berupa protein kolagen, elastin,
retikulin, serta keratin. Protein di dalam kulit yang paling banyak adalah
serabut kolagen sekitar 80-90 persen dari total protein (Highberger,
1978). Protein kolagen berbeda dengan protein lain pada umumnya.
Protein kolagen mengandung asam amino glysine sekitar 33 persen,
imino residues, hydroksiprolin, dan hydroksilysin.. Mengingat tingginya
kandungan protein didalam kulit maka tidaklah heran kalau banyak
masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi produk-produk
pangan dengan bahan dasar dari kulit, seperti kerecek, kerupuk kulit,
kerupuk dorokdok dan lain-lain.
Produk pangan berban baku kulit yang paling populer adalah
kerupuk kulit. Kerupuk kulit didefinisikan sebagai produk makanan ringan
yang dibuat dari kulit sapi (Bos indicus) atau kerbau (Bos bubalis) melalui
tahapan proses pembuangan bulu, pengembangan kulit, perebusan, dan
pengemasan untuk kerupuk kulit mentah atau dilanjutkan dengan
penggorengan untuk kerupuk kulit siap konsumsi (SNI 01-4308,1996).
Berdasarkan definisi tersebut kerupuk kulit dapat berbahan baku kulit sapi
atau kulit kerbau, tetapi pada umumnya kerupuk kulit berbahan baku dari
kulit kerbau. Pembuatan kerupuk kulit juga sudah memiliki tahapan
tertentu sesuai dengan pendapat Nasution (2006) yang mengemukakan
bahwa proses konversi dari input (bahan baku, SDM, dan lain-lain)
menjadi output yang diinginkan (produk atau jasa) membutuhkan suatu
tahapan proses operasi yang berurutan. Oleh karena itu berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut dapat diperkirakan bahwa proses
pembuatan kerupuk kulit memiliki tahapan tertentu serta usaha produksi
kerupuk kulit memiliki keuntungan positif.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus di PD. Sari
Rasa. yang beralamat di Sukaregang, Kabupaten Garut. Dipilihnya
pengrajin tersebut menjadi objek penelitian karena pengrajin tersebut
merupakan salah satu pengrajin Kerupuk kulit terbesar di Sukaregang
serta proses produksi dan penjualannyapun selalu berkelanjutan.
Pengamatan dilakukan pada saat kulit kerbau segar garaman
diproses menjadi kerupuk kulit. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh
prosedur dan tahapan dalam membuat kerupuk kulit untuk
mengidentifikasi proses produksi. Analisis ekonomi dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul pada saat pembuatan
kerupuk kulit, dari mulai awal proses produksi sampai dengan proses
penjualan dilaksanakan oleh produsen kerupuk kulit.

Analisis proses produksi dilakukan dengan mengidentifikasi proses
konversi dari input menjadi output yang membutuhkan suatu tahapan
berurutan, oleh karena itu proses produksi yang berberhasil
diidentifikasi kemuadian dibuatkan flow chart produksi (Nasution, 2006).
Analisis ekonomis dilakukan dengan mengidentifikasi seluruh biaya
langsung kemudian dikelompokan menjadi cost of manufacturing, serta
dianalisis harga pokok produksinya dengan menggunakan persamaan
yang dikemukakan oleh Nasution (2006) sebagai berikut:
CoM
HPP =
N

dimana:
HPP = harga pokok produksi
CoM = cost of manufacturing
N = jumlah produksi pada periode tersebut

Untuk analisis keuntungan dilakukan analisis marjin kontribusi, dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
MK = P – (VC + FC)
Dimana:
MK = marjin kontribusi
P = total penjualan
VC = total biaya tidak tetap (biaya perolehan)
FC = total biaya tetap

Hasil Dan Pembahasan
Proses Produksi Kerupuk kulit
Proses produksi kerupuk kulit dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bahan baku kerupuk
kulit adalah kulit kerbau segar kemudian di rendam didalam bak yang
telah disediakan. Perendaman dilakukan selama empat hari. Air yang
digunakan untuk merendam kulit kerbau segar adalah air sumur, setiap
hari air diganti dengan air yang baru. Tujuan proses perendaman adalah
untuk membersihkan kulit, mengembalikan kondisi kulit menjadi seperti
kulit awet yang baru ditanggalkan dari badannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Purnomo (1985), bahwa perendaman dan pencucian bertujuan
untuk mengembalikan sifat kulit mentah menjadi seperti semula (kulit
segar) dimana kulit menjadi lemas, lunak, dan tidak memberikan
perlawanan saat dipegang, serta agar kulit bersih dari garam yang dipakai
pada saat pengawetan atau agar kotoran yang menempel pada kulit
tersebut menjadi bersih. Tahap selanjutnya adalah penyasapan yaitu
pembuangan bagian subcutis, penyasapan dilakukan dengan
menggunakan pisau sasapan sebagai alat bantu. Tujuan penyasapan
adalah untuk menghilangkan lemak dan sisa daging yang menempel
pada kulit bagian subcutis, hal ini sejalan dengan pendapat Winarno
(1984) bahwa kerupuk kulit sebaiknya dibuat dari kulit segar yang tebal
dan telah dipisahkan dari lemaknya.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Kerupuk kulit kerbau
Bahan baku
(kulit kerbau segar)


Perendaman
(4 hari)

Penyasapan

Pembakaran bulu

Perebusan

Penirisan

Pengerokan bulu

Pemotongan

Penjemuran I

Pembumbuan

Penjemuran II

Penggorengan I

Penggorengan II

Pengemasan

Pembakaran bulu dilakukan dengan cara membakar kulit bagian
epidermis yang masih berbulu diatas perapian. Pembakaran bulu
dilakukan dengan hati-hati dan cepat agar yang terbakar hanya bulunya
saja tidak sampai ke kulit. Tujuan proses pembakaran adalah untuk
menghilangkan bulu yang menempel pada kulit kerbau. Kulit yang telah
dibakar kemudian direbus. Perebusan bertujuan untuk membengkakan
kulit sehingga pori-pori kulit terbuka dan bulu yang masih menempel pada
kulit dapat dengan mudah ditanggalkan. Kulit yang dianggap sudah cukup
mengalami proses perebusan kemudian di tiriskan, setelah tidak panas
kulit dikerok untuk membersihkan bulu yang masih menempel pada kulit.
Pengerokan dilakukan sampai dengan kulit betul-betul bersih dari bulu
yang menempel pada kulit. Jadi proses ini adalah untuk menghilangkan
bulu beserta akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Parathasarathi,
2000)
Kulit yang telah dikerok kemudian dipotong kecil-kecil dengan
bentuk persegi panjang kira-kira berukuran 0,5 X 5 cm. Penjemuran
dilakukan setelah kulit dipotong-potong. Penjemuran dilakukan sampai
kulit betul-betul dalam kondisi kering dengan tanda-tanda kulit menjadi
keras, warna bening (seperti kaca), pada umumnya kulit menjadi kering
setelah dijemur selama 3 hari.
Pemberian bumbu dilakukan dengan cara merendam kulit yang
sudah kering tersebut kedalam bumbu yang telah diberi sedikit air,
adapun bumbu yang digunakan adalah garam, penyedap rasa, bawang
putih, gula, dan rempah-rempah. Gula yang diapakai dalam proses
kerupuk kulit adalah gula merah karena gula merah memiliki rasa yang
manis sehingga dapat digunakan untuk bumbu masakan (Encarta, 2000).
Tahap berikutnya dalam pembuatan kerupuk kulit adalah tahapan
penjemuran. Kulit yang telah di rendam oleh bumbu kemudian dijemur
selama satu hari. Setelah kulit kering kemudian dilakukan penggorengan
dengan cara penggorengan dua tahap. Penggorengan tahap I dilakukan
secara cepat (30 detik) kemudian ditiriskan sampai dingin kembali.
Penggorengan tahap II dilakukan sampai dengan kerupuk kulit benar-
benar mengembang. Sistem penggorengan yang dilaksanakan
menggunakan sistem deep frying dengan suhu minyak kelapa mencapai
200 – 205 0 C (Ketaren, 1986).
Tahap terakhir dalam pembuatan kerupuk kulit adalah tahap
pengemasan. Pengemasan kerupuk kulit pada umumnya hanya dilakukan
dengan menggunakan plastik transparan, dengan tujuan untuk
melindungi kerupuk dari pencemaran dan kerusakan. Hal ini sejalan
dengan fungsi pengemasan yang dikemukakan oleh Buckle (1987) yaitu
untuk mempertahankan produk agar bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemar lainnya, dan memberi
perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen,
dan sinar.

Analisis Ekonomis
Berdasarkan hasil survai di pengrajin kerupuk kulit tersebut
banyaknya kerupuk kulit yang dapat diproduksi dalam satu bulan
sebanyak 200 kg kulit segar dengan tingkat rendemen 25%, tenaga kerja
yang terlibat dalam proses produksi sebanyak 2 orang tenaga kerja tetap
dan 3 orang tenaga kerja borongan selama 8 hari kerja untuk menjemur
dan pakcing, adapun struktur biaya dan pendapatan yang dapat
diidentifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laba (Rugi) Usaha Produksi Kerupuk kulit
Pendapatan
Penjualan 5.875.000
Biaya
Biaya Variabel
Biya Bahan Baku 2,000,000
Bawang Putih 10,310
Garam Meja 5,250
Penyedap Rasa 5,850
Minyak Kelapa 150,000
Minyak Tanah 108,000
Plastik 36,000
Tenaga Kerja Langsung 1,000,000
Tenaga Kerja Borongan 300,000
Penyusutan Pabrik 60,000
Total Biaya Variabel 3,675,409.50
Biaya Tetap
Biaya Tenaga Kerja (Gaji Pimpinan) 1,500,000.00
Listrik 20,000.00
Telpon 50,000.00
Transportasi 100,000.00
Total Biaya Tetap 1,670,000.00
Total Biaya 5,345,409.50
Laba / (Rugi) 529,590.50

Harga Pokok Produksi (HPP) kerupuk kulit dapat dihitung sebagai
berikut:

HPP = Rp. 73,508 / kg.

Berdasarkan perhitungan tersebut maka didapat nilai HPP per kilo gram
kerupuk kulit sebesar Rp. 73,508,-, nilai HPP ini dipakai oleh produsen
sebagai acuan dalam penentuan harga pokok penjualan kepada
konsumen.
Usaha produksi kerupuk kulit selama satu bulan dengan
menggunakan 2 orang tenaga kerja dapat menghasilkan 50 kg kerupuk
kulit, harga jual kerupuk tersebut adalah Rp. 117.500,- per kg, adapun
penghitungan marjin kontribusi (MK) dari usaha tersebut adalah sebagai
berikut:
MK = Rp. 5.875.000,- -(Rp. 3,675,409.50,- + Rp. 1.670.000,-)
MK = Rp. 529,590.50,-
Hasil penghitungan tersebut menunjukkan bahwa usaha kerupuk kulit
tersebut dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 529,590.50,- selama
satu bulan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Proses produksi kerupuk kulit memiliki tahapan tertentu dari mulai
perendaman bahan baku, penyasapan, pembakaran bulu, perebusan,
penirisan, pengerokan bulu, pemotongan, penjemuran I,
pembumbuan, penjemuran II, penggorengan I, penggorengan II,
sampai dengan pengemasan.
2. Harga pokok produksi kerupuk kulit di PD. Sari Rasa adalah Rp.
73,508,- per kg, dan margin kontribusi sebesar Rp. 529,590.50,- per
bulan.

Daftar Pustaka
1. Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Diakses dari
http://www.bps.go.id/. Tanggal 15 June 2009.

2. Buckle, K.A., Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu
Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. UI. Press.
Jakarta.

3. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1996. Standar dan
Cara Uji Kerupuk Kulit. Standar Nasional Indonesia (SNI). No:
01-4308. Jakarta.

4. Djojowidagdo, S. 1988. Kulit Kerbau Lumpur Jantan, Sifat-Sifat
dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Wayang Kulit Purwa.
Universitas Gadjahmada. Yogyakarta.

5. Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington, 1994. Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Ed-2. Gajah Mada University Press.

6. Highberger, J. 1978. The Chemical Structure and Macromolecular
Organization of the Skin Protein. Chap. 4 Vol.1. in the
Chemistry and Technology of Leather. F.O’Flaherty, W.T.
Roddy, and R.M. Lollar eds. Robert E Krieger Publishing Co.,
Hutington, New York.

7. Ketaren, 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan,
UI Press, Jakarta.

8. Nasution A. H., 2006, Manajemen Industri, Andi Offset, Jogjakarta.

9. Parathasarathi K. 2000. Manual on Tanning And Finishing.
Consultant UNIDO. India.

10. Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan
Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.

11. Suparno, 1994, Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University
Press. Jogjakarta.

12. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1984. Pengantar
Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.

THE EFFECTS OF SULFURIC ACID (H2SO4) VARIUOS LEVEL USE ON WET BLUE QUALITY OF PRIANGAN SHEEP SKIN

PENGARUH PENGGUNAAN BERBAGAI TINGKAT ASAM SULFAT (H2SO4)
PADA PROSES PIKEL TERHADAP KUALITAS KULIT WET BLUE DOMBA
PRIANGAN JANTAN

Jajang Gumilar
Fakultas Peternakan Unpad.
(dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran,
Volume 5, Tahun 2006)

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai
tingkat asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel terhadap kualitas kulit wet blue
domba priangan jantan. Kualitas kulit wet blue didasarkan pada kadar air, nilai
keasaman (pH), dan kadar krom (Cr2O3). Penelitian ini dilakukan secara
eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap menggunakan 20 lembar kulit
domba priangan jantan yang termasuk dalam klasifikasi kulit kecil. Penelitian
terdiri atas lima perlakuan tingkat asam sulfat yaitu R1 = 0,5%, R2 = 1%, R3 =
1,2%, R4 = 1,5%, dan R5 = 2% asam sulfat dihitung dari berat bloten, masing-
masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan berbagai tingkat asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel
berpengaruh (P<0,05) terhadap nilai keasaman (pH), dan kadar krom (Cr2O3)
kulit wet blue domba priangan jantan. Penggunaan asam sulfat terbaik pada
penelitian ini adalah perlakuan ketiga (R3 = 1,2%).

Kata kunci : asam sulfat, proses pikel, kualitas, wet blue, domba priangan
jantan


THE EFFECTS OF SULFURIC ACID (H2SO4) VARIUOS LEVEL USE ON WET
BLUE QUALITY OF PRIANGAN SHEEP SKIN

Jajang Gumilar
Animal Husbandry - Unpad

Abstract
The aims of this research were to found out the effects of sulfuric acid (H2SO4)
various level use on wet blue quality of Priangan sheep skin. The quality of wet
blue skin based on water (H2O) concentration, pH value, and crom (Cr2O3)
concentration. This research was conducted experimentally with completely
randomized design used 20 pieces of small priangan sheep skins. This
research contained five treatments, there were R1 = 0,5%, R2 = 1%, R3 = 1,2%,
R4 = 1,5%, and R5 = 2% of sulfuric acid that calculated on bloten weight, each
treatments were replicated fourth times. The results indicated that various levels
of sulfuric acid (H2SO4) used were significant (P<0,5) on pH value, and
Crom(Cr2O3) concentration of wet blue sheep skin. The best sulfuric acid
(H2SO4) used at this research was third treatment (R3 =1,2%).

Key word: sulfuric acid, pickling process, quality, wet blue skin, priangan
sheep.


Pendahuluan
Produksi kulit domba di Jawa Barat memiliki potensi pengembangan yang
cukup besar dibandingkan dengan produksi kulit ternak lain, hal ini dapat dilihat
dari jumlah domba di Jawa Barat. Berdasarkan data statistik Jawa Barat Dalam
Angka tahun 2004, populasi domba di Jawa Barat paling besar dibanding
ternak lainnya dengan rincian sebagai berikut: domba 3.529,4 ribu, kambing
1.144,1 ribu, sapi potong 232,9 ribu, kerbau 149,9 ribu , sapi perah 98,9 ribu,
babi 8,1 ribu, dan kuda 14,2 ribu. Populasi domba secara nasional 41% berada
di Jawa Barat. Domba yang dipelihara oleh peternak di Jawa Barat sebagian
besar adalah domba priangan. Domba merupakan ternak yang paling banyak
dipotong di Jawa Barat yaitu sebanyak 542,9 ribu ekor. Semakin banyak ternak
dipotong menyebabkan ketersediaan kulit juga semakin banyak, hal ini terjadi
karena sifat kulit bukan sebagai produk utama (main products) tetapi hanya
sebagai hasil ikutan (by products) dari ternak yang dipotong.
Kulit domba segar dikenal dengan istilah skin yaitu kulit segar atau kulit
mentah yang memiliki berat kurang dari 15 kg. Kulit mentah (skin dan hide)
merupakan produk hasil peternakan yang memiliki nilai tambah tinggi apabila
telah mengalami proses lebih lanjut menjadi kulit hasil olahan (pickle, wet blue,
crust, dan leather). Kulit segar (kulit baru ditanggalkan dari hewannya) yang
disimpan tanpa proses pengawetan akan cepat mengalami kerusakan. Kulit
segar memiliki sifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk
tumbuh dan berkembangbiaknya mikro organisme. Kerusakan karena mikro
organisme ini akan berpengaruh terhadap kualitas kulit jadi (leather). Kualitas
leather, baik secara fisik maupun kimia dipengaruhi juga oleh jenis, umur, dan
sex. Kulit domba jantan sangat baik dibuat leather untuk keperluan garment
karena kulit ini memiliki beberapa kelebihan seperti bagian kulitnya secara
topografis relatif homogen, lebih supel, tebal dan berisi, kekuatannya secara
fisik lebih tinggi, dan kulit jadinya tidak banyak yang keriput.
Kulit mentah yang telah mengalami proses lebih lanjut menjadi kulit hasil
olahan, dapat lebih tahan terhadap perubahan kimia maupun fisik. Secara
kimia, susunan kimiawi kulit telah mengalami perubahan dimana zat-zat kimia
yang mudah mengalami hidrolisis seperti lemak pada kulit menjadi lebih stabil.
Begitu juga dengan protein, yang asalnya mudah dijadikan media hidup oleh
mikro organisme berubah menjadi senyawa-senyawa yang tidak disukai oleh
mikro organisme. Selain itu kulit hasil olahan memiliki daya tahan terhadap
perubahan fisik seperti perubahan suhu, kelembaban, gesekan, dan lain-lain.
Proses pikel merupakan proses awal yang sangat penting pada tahapan
pengolahan kulit. Proses pikel memiliki beberapa fungsi diantaranya untuk
mengawetkan kulit yang tidak langsung diproses karena menunggu sampai
jumlah tertentu agar proses produksi mencapai skala ekonomis, atau
menunggu pesanan dari konsumen. Pengawetan secara pikel dapat
meningkatkan daya simpan kulit sampai satu tahun apabila disimpan dalam
rendaman pikel. Selain itu tempat penyimpanan persediaan kulit menjadi lebih
kecil karena kulit hanya bagian corium (true skin) saja. Apabila persediaan kulit
sudah mencapai jumlah tertentu atau sudah ada pesanan dari konsumen maka
kulit pikel dapat langsung dilakukan proses penyamakan sehingga waktu
proses menjadi lebih singkat.

Proses pikel adalah proses untuk mengubah kondisi kulit menjadi asam.
Asam sulfat (H2SO4) merupakan zat kimia yang paling banyak digunakan pada
proses pikel oleh masyarakat penyamak kulit. Saat ini, penggunaan asam sulfat
untuk membuat kulit pikel pada domba priangan sangat bervariasi antara satu
penyamak dengan penyamak lainnya. Penggunaan asam sulfat tersebut
didasari oleh pengalaman empirik tiap-tiap penyamak dan belum diketahui
dengan pasti berapa tingkat penggunaan asam sulfat yang optimal dalam
proses pikel kulit domba priangan, khususnya domba priangan jantan.
Beberapa ahli juga mengemukakan jumlah penggunaan asam sulfat yang
berbeda-beda pada proses pikel, diantaranya menurut Judoamidjodjo (1980)
sebanyak 1,5 – 2%, menurut Purnomo (1985) sebanyak 1%, dan menurut
Sarkar (1995) sebanyak 0,5-1,2%.
Kulit wet blue adalah kulit hewan yang disamak sampai proses penyamakan
krom, tetapi tidak diproses selanjutnya dan masih dalam keadaan basah. Pada
umumnya untuk menghasilkan kulit samak yang disamak dengan zat penyamak
krom (kulit wet blue), sebelumnya kulit harus melalui proses pengasaman
(pikel) pada pH antara 3 – 3,5, karena pH zat penyamak krom sebesar 2,8 –
3,0. Apabila kulit tidak melalui proses pikel maka akan terjadi kontraksi pada
jaringan kulit dan terjadi perbesaran molekul krom secara spontan (karena
kenaikan pH basisitet) yang menyebabkan kulit lebih cepat matang pada bagian
luar. Hal ini akan mengakibatkan tertutupnya jalan untuk penetrasi cairan krom
berikutnya sehingga kulit lama masaknya dan tidak dapat disamak secara
sempura (Edi Purnomo, 1985).
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian pengaruh
penggunaan asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel terhadap kualitas kulit wet
blue domba priangan jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh penggunaan asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel terhadap
kadar air, kadar keasaman, dan kadar krom kulit wet blue domba priangan
jantan serta untuk mengetahui jumlah terbaik penggunaan asam sulfat pada
proses pikel tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi penggunaan asam sulfat pada proses pikel dalam usaha memperbaiki
kualitas kulit wet blue domba priangan jantan.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan 20 lembar kulit domba priangan jantan dengan
rataan berat 0,53 ± 0.04 kg, yang diperoleh dari pengumpul kulit domba di
Wanaraja, Kabupaten Garut. Kulit-kulit tersebut dibagi kedalam 5 kelompok.
Tiap-tiap kelompok diberikan perlakuan pemberian asam sulfat (H2SO4) teknis
99%, sesuai dengan pendapat Judoamidjodjo (1981), Purnomo (1985), serta
Sarkar (1995) yaitu sebanyak 0,5% (R1); 1% (R2); 1,2% (R3); 1,5% (R4); dan 2%
(R5) dari berat kulit bloten.
Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan kulit domba
priangan jantan dalam bentuk kulit segar garaman dengan klasifikasi kulit kecil
(kids or small below) yaitu ukuran panjang dari ujung ekor sampai ujung pundak
lebih kecil dari 28 inchi (Sarkar, 1991). Kulit segar garaman kemudian
ditimbang untuk penentuan kebutuhan air dan zat kimia pada proses soaking
dan limming.

Kulit dimasukkan ke dalam drum soaking lalu dicuci dengan air mengalir
sampai bersih, kemudian airnya dibuang. Proses soaking (pelemasan kulit)
dilakukan dengan mengganti air dan menambahkan wetting agent serta
Na2CO3, kemudian drum diputar (2 rpm) selama dua jam. Proses limming
(pembuangan bulu dan lapisan epidermis) dimulai dengan memasukan Na2S,
wetting agent, Ecovit, dan Ca(OH)2. Drum diputar 2 rpm dengan
mengkombinasikan antara pemutaran, pengistirahatan, dan perendaman
selama 12 jam.
Drum diputar selama satu jam sebelum kulit dikeluarkan dari dalam
drum, kemudian dilakukan proses fleshing dengan menggunakan mesin
fleshing untuk menghilangkan lapisan subcutis. Bulu kecil yang masih
menempel pada kulit dibuang dengan menggunakan pisau scudding.
Kulit yang sudah terpisah dari lapisan epidermis, bulu, dan lapisan
subcutis ditimbang untuk memperoleh berat bloten yang dipakai sebagai dasar
pada penentuan kebutuhan air dan zat kimia lainnya saat proses delliming,
batting, pickling, dan tanning. Kulit bloten dicuci dengan cara mengalirkan air
ke dalam drum pickling yang sedang berputar sampai nilai kulit mencapai pH 8
kemudian airnya dibuang. Proses buang kapur (delimming) dilakukan dengan
cara memasukan air ke dalam drum pickling, ditambahkan ammonium sulfat
((NH4)2SO4) kemudian diputar selama 90 menit. Batting agent dan wetting
agent ditambahkan pada proses pengikisan protein (batting), kemudian drum
pickling diputar selama dua jam.
Pencucian dengan air mengalir sambil drum tetap diputar sampai
dengan mencapai pH 7 dilakukan sebelum proses pikel. Proses pikel
dilakukan dengan menambahkan air, NaCl, NaHCOOH, HCOOH, dan H2SO4
yang diberikan sesuai dengan dosis perlakuan, kemudian drum diputar selama
dua jam. Setelah pH mencapai 3 diteruskan proses penyamakan (tanning),
dimulai dengan membuang air pikel, memasukan Na2SO4, Cr2(SO4)3, sodium
asetat, NaHCOOH, dan Na2CO3, kemudian drum tanning diputar selama 3 jam.
Penelitiaan menggunakan metode eksperimental. Rancangan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan
penggunaan asam sulfat (H2SO4) yaitu: R1 = 0,5%; R2 = 1%; R3 = 1,2%; R4 =
1,5%; dan R5 = 2% dari berat bloten. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat
kali. Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kualitas kulit domba wet
blue yang terdiri atas: kadar air, nilai keasaman (pH), dan kadar krom (Cr2O3).
Pengukuran peubah mengacu kepada Standar Industri Indonesia (SII)
No.0067-75 tentang Mutu dan Cara Uji Kulit Wet Blue Domba/Kambing. Uji
untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan analisis ragam, sedangkan
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji jarak berganda
Duncan pada taraf kepercayaan lima persen.

Hasil Dan Pembahasan
Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Air Kulit Wet Blue Domba Priangan
Jantan
Hasil pengujian kadar air kulit wet blue domba priangan jantan yang
diberi perlakuan berbagai tingkat asam sulfat, menunjukkan trend penurunan
seiring dengan bertambahnya pemberian asam sulfat pada proses pikel.
Walaupun demikian setelah dilakukan analisis ragam tidak terdapat perbedaan
nyata untuk semua perlakuan (Tabel 1).
Tidak berbedanya kadar air tiap perlakuan pada kulit wet blue domba
priangan jantan disebabkan pada saat proses pikel kadar air sudah mengalami
penurunan sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Woodrofe (1948)
bahwa proses pikel mengeluarkan sejumlah air yang ada pada kulit segar,
terutama air bebas yang ada pada kulit. Selain air bebas, air terikat juga turut
keluar sebagai akibat terjadinya denaturasi protein yang ada di dalam kulit
karena pengaruh asam. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (1998) yang
mengemukakan bahwa pada proses denaturasi protein terjadi perubahan ikatan
polipeptida protein yang akhirnya air terikat di dalam protein jadi terlepas.
Keluarnya air dari kulit juga terjadi pada proses penyamakan yaitu pada saat
terjadinya pengikatan antara molekul-molekul krom kompleks di dalam kulit.
Pendapat ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Judoamidjodjo
(1981) yang menyatakan bahwa pada proses penyamakan terjadi proses
olation yaitu suatu pengikatan antara dua molekul yang sama (molekul
kompleks) menjadi molekul yang lebih besar dengan mengeluarkan air.
Keluarnya air bebas serta air terikat pada proses pikel dan proses penyamakan,
dapat menyebabkan kadar air yang masih ada di dalam kulit wet blue
mengalami penurunan sehingga jumlahnya menjadi relatif sama untuk tiap
perlakuan.
Berdasarkan standar SII No. 0067-75 tentang Mutu dan Cara Uji Kulit
Wet Blue Domba/Kambing, kadar airnya berkisar antara 50%-60%. Kadar air
kulit wet blue yang diberi perlakuan asam sulfat dari mulai R1 sampai dengan
R5 menghasilkan kulit wet blue dengan kadar air sebesar 59,08% sampai
dengan 59,40%. Mengacu pada SII tersebut maka kualitas kulit wet blue hasil
perlakuan masih sesuai dengan standar yang berlaku.

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Kulit Wet Blue Domba Priangan
Jantan
Nilai pH wet blue pada masing-masing perlakuan menunjukkan pola
semakin naik seiring dengan penambahan asam sulfat pada proses pikel. Hasil
uji statistik dengan menggunakan uji Jarak Berganda Duncan menunjukkan
bahwa nilai pH pada perlakuan R3, R4, dan R5 lebih besar (P<0,05)
dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2, perlakuan R2 lebih besar (P<0,05)
dibandingkan dengan R1, sedangkan perlakuan R3, R4, dan R5 masing masing
tidak berbeda nyata (Tabel 2).
Peningkatan penambahan asam sulfat pada proses pikel menyebabkan
peningkatan nilai pH kulit wet blue, kondisi ini diduga karena zat penyamak
krom yang terikat dalam kulit wet blue semakin banyak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Woodrofe (1948) bahwa asam yang digunakan pada proses pikel
berfungsi untuk memecah ikatan silang diantara fibril-fibril kulit sehingga
memperluas ruang antara fibril dengan polipeptida di dalam kulit yang siap diisi
oleh zat penyamak. Zat penyamak krom yang berikatan dengan fibril kulit
memiliki sifat basa sebagaimana dikemukakan oleh Purnomo (1985) bahwa
krom kompleks yang berikatan dengan fibril kulit sebagai gugus hidroxo yang
bersifat basa, selain itu pada proses olation terbentuk garam kromium basa
yang stabil.

Nilai pH berdasarkan SII No. 0067-75 adalah 3,6-3,86. Nilai pH kulit wet
blue yang diberikan perlakuan asam sulfat hanya R3 dan R4 yang memiliki nilai
pH sesuai dengan standar tersebut. Mengingat R3 dan R4 tidak berbeda nyata
satu sama lain, maka perlakuan R3 adalah yang terbaik pada penelitian ini
ditinjau dari nilai pH kulit wet blue domba priangan jantan.


Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Krom Kulit Wet Blue Domba
Priangan Jantan
Krom merupakan salah satu zat penyamak yang banyak digunakan pada
prosesing kulit, karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya kulit jadi
(leather) lebih halus, lebih tahan terhadap panas, dan lebih tahan sobek. Hasil
pengujian kadar krom sebagai pengaruh dari perlakuan penggunaan asam
sulfat (H2SO4) pada proses pikel menghasilkan kadar krom semakin
meningkat. Berdasarkan analisis ragam terdapat perbedaan nyata (P<0,05)
pengaruh penggunaan asam sulfat terhadap kadar krom kulit wet blue domba
Priangan jantan. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji
jarak berganda Duncan. Hasil perhitungan uji jarak berganda Duncan dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa dari mulai perlakuan R1 sampai
dengan R4 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata satu sama lain, perlakuan
R5 berbeda nyata (P<0,05) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan R1 dan
R2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3, dan R4. Tingginya
kandungan krom di dalam kulit wet blue yang dihasilkan oleh perlakuan R5
dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2 diduga sebagai akibat konsentrasi
asam sulfat menyebabkan kondisi kulit lebih asam sehingga krom dapat
bereaksi lebih sempurna dengan kolagen kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Purnomo (1985) yang mengemukakan bahwa pH zat penyamak krom antara
2,8-3,0. Bila kulit tidak diasamkan (dipikel), di samping terjadi kontraksi juga
dimungkinkan adanya perbesaran molekul krom secara spontan yang
mengakibatkan kulit cepat matang pada bagian luarnya yang selanjutnya akan
menutup jalan untuk penetrasi cairan krom berikutnya.
Kadar krom di dalam kulit wet blue domba menurut SII No. 0067-75
berkisar antara 5 – 6%. Perlakuan yang menghasilkan kadar krom sesuai
dengan standar tersebut adalah perlakuan R2 sampai dengan R4. Mengacu
kepada hasil uji statistik dan standar industri di Indonesia, maka perlakuan yang
terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan R3.

Kesimpulan
Penggunaan asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel memiliki pengaruh
nyata terhadap nilai pH dan kadar krom kulit wet blue, tetapi tidak memberikan
pengaruh terhadap kadar airnya. Penggunaan asam sulfat sebanyak 1,2%
pada proses pikel memberikan kualitas terbaik pada kulit wet blue domba
priangan jantan.

Daftar Pustaka
Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1975. Mutu dan Cara Uji Kulit
Pikel Domba/Kambing. SII No. 0066-75. Jakarta.

Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung.

Judoamidjodjo R, M. 1980. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan.
Angkasa. Bandung.

Parathasarathi K. 2000. Manual on Tanning And Finishing. Consultant UNIDO.
India.

Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi
Teknologi Kulit. Yogyakarta.

Sarkar K , T. 1995. Theory And Practice Of Leather Manufacture. Mahatma
Gandhi Road. Madras. India.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta

West, E.S. 1963. Textbook of Biophysical Chemistry. 3th Ed. The Macmilan
Company. New York.

Winarno, S. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah. Edisi VII. Tarsito. Bandung.

Woodroffe D. 1948. Fundamentals Of Leather Science. A. Harper
Publisher. Duppas Hill Road. Inggris.