Minggu, 16 Mei 2010

PRODUCTION IDENTIFICATION AND ECONOMIC ANALISYS OF BUFFALO HIDE CRACKER AT PRODUCER IN CENTRE OF LEATHER INDUSTRY SUKAREGANG, GARUT

PRODUCTION IDENTIFICATION AND ECONOMIC ANALISYS OF
BUFFALO HIDE CRACKER AT PRODUCER IN CENTRE
OF LEATHER INDUSTRY SUKAREGANG, GARUT

Jajang Gumilar
Faculty of Animal Husbandry - Unpad

Abstract
The aims of this research were to identify of production process and
economic analysis of buffalo hide cracker that produce in centre of leather
industry Sukaregang, Garut. Method that used was case study at PD. Sari
Rasa. Observation has been held on all of the process stages to identified
production process. Economic analysis was done by identification all of
the cost that used to produce buffalo hide crackers. The buffalo hide
cracker has specific production stages begin from soaking, slicing,
burning, steaming, drying, scudding, cutting, first sun burning, flavouring,
second sun burning, first fried, second fried, and packaging. Buffalo hide
cracker production cost at PD. Sari Rasa was Rp. 66.708 per kg and
contribution margin was Rp. 869.588 per month.

Key words: production process, economic analysis, buffalo hide cracker

IDENTIFIKASI PROSES PRODUKSI DAN ANALISIS EKONOMIS
KERUPUK KULIT KERBAU PADA PRODUSEN DI SENTRA
INDUSTRI KULIT SUKAREGANG, GARUT

Jajang Gumilar
Fakultas Peternakan Unpad
(dipublikasikan pada Proseding Seminar Nasional Pembangunan Peternakan Berkelanjutan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2009)


Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses produksi dan analisis
ekonomis kerupuk kulit kerbau yang diproduksi di sentra industri kulit
Sukaregang, Kabupaten Garut. Metode yang dilakukan adalah metode
studi kasus di PD. Sari Rasa. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh
prosedur dan tahapan pembuatan kerupuk kulit kerbau untuk
mengidentifikasi proses produksi. Analisis ekonomis dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul pada saat pembuatan kerupuk
kulit kerbau sampai dengan proses penjualan. Proses produksi kerupuk
kulit kerbau memiliki tahapan tertentu dari mulai perendaman bahan
baku, penyasapan, pembakaran bulu, perebusan, penirisan, pengerokan
bulu, pemotongan, penjemuran I, pembumbuan, penjemuran II,
penggorengan I, penggorengan II, sampai dengan pengemasan. Harga
pokok produksi kerupuk kulit kerbau di PD. Sari Rasa adalah Rp. 66.708
per kg, dan margin kontribusi sebesar Rp. 869.588 per bulan.

Kata Kunci: proses produksi, analisis ekonomis, kerupuk kulit kerbau


Pendahuluan
Pemanfaatan kulit sebagi salah satu hasil sampingan (by product)
sangat beragam. Pengrajin yang bergerak dalam pengolahan kulit
memproduksi kulit menjadi makanan dan non makanan. Produk makanan
yang berasal dari kulit seperti kerupuk kulit, kerupuk dorokdok, kerupuk
dengkul, kerecek, sate kulit, dan lain sebagainya. Produk non makanan
yang berbahan baku kulit seperti produk fashion (jaket, baju, rok, celana,
sepatu, tas, sabuk, dll), perlengkapan olah raga (bola, sarung tangan golf,
dll), perlengkapan otomotif (sarung jok, interior mobil, dll), perlengkapan
kerja (jaket pengaman, safety shoes, chamois, belt, dll), dan lain
sebagainya.
Kulit kerbau sebagai salah satu jenis kulit yang banyak tersedia di
tempat pemotongan hewan sebagai hasil ikutan dari kerbau yang
disembelih untuk keperluan daging kerbau banyak diolah menjadi produk
makanan. Ketersediaan kulit kerbau secara nasional dari tahun ketahun
mengalami peningkatan hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah ternak
kerbau yang dipotong. Berdasarkan data Statistik Indonesia, selama
tahun 2006 jumlah kerbau yang dipotong mencapai 92,636 ekor dan
pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 2,3 % yaitu sebanyak
94,799 ekor. Tempat pemotongan paling banyak dilakukan di Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Utara. Populasi kerbau di Jawa Barat
sebetulnya bukan yang terbanyak, hanya menempati posisi keempat.
Berikut adalah jumlah populasi kerbau berdasarkan data statistik
Indonesia Tahun 2007. Provinsi Nangroe Aceh Daruslam (390.334 ekor),
Sumtera Barat (192.148 ekor), Sumatera Utara (189.167 ekor), dan Jawa
Barat (149.030 ekor). Banyaknya kerbau yang dipotong di Jawa Barat
berpengaruh terhadap ketersediaan kulit kerbau sebagai bahan baku
produk pangan seperti kerupuk kulit.
Kerupuk kulit sudah berkembang dan populer di Indonesia, bahkan
dibeberapa Negara di Asia tenggara seperti Vietnam, dan Thailand. Di
Indonesia kerupuk kulit diproduksi di berbagai wilayah dengan nama yang
berbeda-beda. Di Jawa Barat dikenal dengan nama kerupuk kulit, di Jawa
Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan sebutan kerupuk rambak. Selain
di Pulau Jawa, kerupuk kulit juga di produksi di pulau-pulau lain seperti di
Sumatera, dan Kalimantan.
Kulit kerbau seperti halnya kulit ternak pada umumnya tersusun
dari jaringan yang secara histologis terdiri dari epidermis, corium dan
jaringan-jaringan lain yang terdapat di dalamnya. Epidermis merupakan
Epitheel squamousa complex berupa protein fibrous yaitu keratin, selain
itu terdapat pula lemak, karbohidrat, dan zat warna melanin. Corium
terdiri dari protein fibrous, protein globular, karbohidrat, mineral, enzim,
dan air (Djojowidagdo, 1988).
Kandungan total protein pada kulit kerbau hampir sama dengan
kandungan protein kulit pada umumnya yaitu 33 persen, sebagian besar
bentuk protein kulit adalah protein fibrous, berupa protein kolagen, elastin,
retikulin, serta keratin. Protein di dalam kulit yang paling banyak adalah
serabut kolagen sekitar 80-90 persen dari total protein (Highberger,
1978). Protein kolagen berbeda dengan protein lain pada umumnya.
Protein kolagen mengandung asam amino glysine sekitar 33 persen,
imino residues, hydroksiprolin, dan hydroksilysin.. Mengingat tingginya
kandungan protein didalam kulit maka tidaklah heran kalau banyak
masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi produk-produk
pangan dengan bahan dasar dari kulit, seperti kerecek, kerupuk kulit,
kerupuk dorokdok dan lain-lain.
Produk pangan berban baku kulit yang paling populer adalah
kerupuk kulit. Kerupuk kulit didefinisikan sebagai produk makanan ringan
yang dibuat dari kulit sapi (Bos indicus) atau kerbau (Bos bubalis) melalui
tahapan proses pembuangan bulu, pengembangan kulit, perebusan, dan
pengemasan untuk kerupuk kulit mentah atau dilanjutkan dengan
penggorengan untuk kerupuk kulit siap konsumsi (SNI 01-4308,1996).
Berdasarkan definisi tersebut kerupuk kulit dapat berbahan baku kulit sapi
atau kulit kerbau, tetapi pada umumnya kerupuk kulit berbahan baku dari
kulit kerbau. Pembuatan kerupuk kulit juga sudah memiliki tahapan
tertentu sesuai dengan pendapat Nasution (2006) yang mengemukakan
bahwa proses konversi dari input (bahan baku, SDM, dan lain-lain)
menjadi output yang diinginkan (produk atau jasa) membutuhkan suatu
tahapan proses operasi yang berurutan. Oleh karena itu berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut dapat diperkirakan bahwa proses
pembuatan kerupuk kulit memiliki tahapan tertentu serta usaha produksi
kerupuk kulit memiliki keuntungan positif.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus di PD. Sari
Rasa. yang beralamat di Sukaregang, Kabupaten Garut. Dipilihnya
pengrajin tersebut menjadi objek penelitian karena pengrajin tersebut
merupakan salah satu pengrajin Kerupuk kulit terbesar di Sukaregang
serta proses produksi dan penjualannyapun selalu berkelanjutan.
Pengamatan dilakukan pada saat kulit kerbau segar garaman
diproses menjadi kerupuk kulit. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh
prosedur dan tahapan dalam membuat kerupuk kulit untuk
mengidentifikasi proses produksi. Analisis ekonomi dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul pada saat pembuatan
kerupuk kulit, dari mulai awal proses produksi sampai dengan proses
penjualan dilaksanakan oleh produsen kerupuk kulit.

Analisis proses produksi dilakukan dengan mengidentifikasi proses
konversi dari input menjadi output yang membutuhkan suatu tahapan
berurutan, oleh karena itu proses produksi yang berberhasil
diidentifikasi kemuadian dibuatkan flow chart produksi (Nasution, 2006).
Analisis ekonomis dilakukan dengan mengidentifikasi seluruh biaya
langsung kemudian dikelompokan menjadi cost of manufacturing, serta
dianalisis harga pokok produksinya dengan menggunakan persamaan
yang dikemukakan oleh Nasution (2006) sebagai berikut:
CoM
HPP =
N

dimana:
HPP = harga pokok produksi
CoM = cost of manufacturing
N = jumlah produksi pada periode tersebut

Untuk analisis keuntungan dilakukan analisis marjin kontribusi, dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
MK = P – (VC + FC)
Dimana:
MK = marjin kontribusi
P = total penjualan
VC = total biaya tidak tetap (biaya perolehan)
FC = total biaya tetap

Hasil Dan Pembahasan
Proses Produksi Kerupuk kulit
Proses produksi kerupuk kulit dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bahan baku kerupuk
kulit adalah kulit kerbau segar kemudian di rendam didalam bak yang
telah disediakan. Perendaman dilakukan selama empat hari. Air yang
digunakan untuk merendam kulit kerbau segar adalah air sumur, setiap
hari air diganti dengan air yang baru. Tujuan proses perendaman adalah
untuk membersihkan kulit, mengembalikan kondisi kulit menjadi seperti
kulit awet yang baru ditanggalkan dari badannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Purnomo (1985), bahwa perendaman dan pencucian bertujuan
untuk mengembalikan sifat kulit mentah menjadi seperti semula (kulit
segar) dimana kulit menjadi lemas, lunak, dan tidak memberikan
perlawanan saat dipegang, serta agar kulit bersih dari garam yang dipakai
pada saat pengawetan atau agar kotoran yang menempel pada kulit
tersebut menjadi bersih. Tahap selanjutnya adalah penyasapan yaitu
pembuangan bagian subcutis, penyasapan dilakukan dengan
menggunakan pisau sasapan sebagai alat bantu. Tujuan penyasapan
adalah untuk menghilangkan lemak dan sisa daging yang menempel
pada kulit bagian subcutis, hal ini sejalan dengan pendapat Winarno
(1984) bahwa kerupuk kulit sebaiknya dibuat dari kulit segar yang tebal
dan telah dipisahkan dari lemaknya.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Kerupuk kulit kerbau
Bahan baku
(kulit kerbau segar)


Perendaman
(4 hari)

Penyasapan

Pembakaran bulu

Perebusan

Penirisan

Pengerokan bulu

Pemotongan

Penjemuran I

Pembumbuan

Penjemuran II

Penggorengan I

Penggorengan II

Pengemasan

Pembakaran bulu dilakukan dengan cara membakar kulit bagian
epidermis yang masih berbulu diatas perapian. Pembakaran bulu
dilakukan dengan hati-hati dan cepat agar yang terbakar hanya bulunya
saja tidak sampai ke kulit. Tujuan proses pembakaran adalah untuk
menghilangkan bulu yang menempel pada kulit kerbau. Kulit yang telah
dibakar kemudian direbus. Perebusan bertujuan untuk membengkakan
kulit sehingga pori-pori kulit terbuka dan bulu yang masih menempel pada
kulit dapat dengan mudah ditanggalkan. Kulit yang dianggap sudah cukup
mengalami proses perebusan kemudian di tiriskan, setelah tidak panas
kulit dikerok untuk membersihkan bulu yang masih menempel pada kulit.
Pengerokan dilakukan sampai dengan kulit betul-betul bersih dari bulu
yang menempel pada kulit. Jadi proses ini adalah untuk menghilangkan
bulu beserta akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Parathasarathi,
2000)
Kulit yang telah dikerok kemudian dipotong kecil-kecil dengan
bentuk persegi panjang kira-kira berukuran 0,5 X 5 cm. Penjemuran
dilakukan setelah kulit dipotong-potong. Penjemuran dilakukan sampai
kulit betul-betul dalam kondisi kering dengan tanda-tanda kulit menjadi
keras, warna bening (seperti kaca), pada umumnya kulit menjadi kering
setelah dijemur selama 3 hari.
Pemberian bumbu dilakukan dengan cara merendam kulit yang
sudah kering tersebut kedalam bumbu yang telah diberi sedikit air,
adapun bumbu yang digunakan adalah garam, penyedap rasa, bawang
putih, gula, dan rempah-rempah. Gula yang diapakai dalam proses
kerupuk kulit adalah gula merah karena gula merah memiliki rasa yang
manis sehingga dapat digunakan untuk bumbu masakan (Encarta, 2000).
Tahap berikutnya dalam pembuatan kerupuk kulit adalah tahapan
penjemuran. Kulit yang telah di rendam oleh bumbu kemudian dijemur
selama satu hari. Setelah kulit kering kemudian dilakukan penggorengan
dengan cara penggorengan dua tahap. Penggorengan tahap I dilakukan
secara cepat (30 detik) kemudian ditiriskan sampai dingin kembali.
Penggorengan tahap II dilakukan sampai dengan kerupuk kulit benar-
benar mengembang. Sistem penggorengan yang dilaksanakan
menggunakan sistem deep frying dengan suhu minyak kelapa mencapai
200 – 205 0 C (Ketaren, 1986).
Tahap terakhir dalam pembuatan kerupuk kulit adalah tahap
pengemasan. Pengemasan kerupuk kulit pada umumnya hanya dilakukan
dengan menggunakan plastik transparan, dengan tujuan untuk
melindungi kerupuk dari pencemaran dan kerusakan. Hal ini sejalan
dengan fungsi pengemasan yang dikemukakan oleh Buckle (1987) yaitu
untuk mempertahankan produk agar bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemar lainnya, dan memberi
perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen,
dan sinar.

Analisis Ekonomis
Berdasarkan hasil survai di pengrajin kerupuk kulit tersebut
banyaknya kerupuk kulit yang dapat diproduksi dalam satu bulan
sebanyak 200 kg kulit segar dengan tingkat rendemen 25%, tenaga kerja
yang terlibat dalam proses produksi sebanyak 2 orang tenaga kerja tetap
dan 3 orang tenaga kerja borongan selama 8 hari kerja untuk menjemur
dan pakcing, adapun struktur biaya dan pendapatan yang dapat
diidentifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laba (Rugi) Usaha Produksi Kerupuk kulit
Pendapatan
Penjualan 5.875.000
Biaya
Biaya Variabel
Biya Bahan Baku 2,000,000
Bawang Putih 10,310
Garam Meja 5,250
Penyedap Rasa 5,850
Minyak Kelapa 150,000
Minyak Tanah 108,000
Plastik 36,000
Tenaga Kerja Langsung 1,000,000
Tenaga Kerja Borongan 300,000
Penyusutan Pabrik 60,000
Total Biaya Variabel 3,675,409.50
Biaya Tetap
Biaya Tenaga Kerja (Gaji Pimpinan) 1,500,000.00
Listrik 20,000.00
Telpon 50,000.00
Transportasi 100,000.00
Total Biaya Tetap 1,670,000.00
Total Biaya 5,345,409.50
Laba / (Rugi) 529,590.50

Harga Pokok Produksi (HPP) kerupuk kulit dapat dihitung sebagai
berikut:

HPP = Rp. 73,508 / kg.

Berdasarkan perhitungan tersebut maka didapat nilai HPP per kilo gram
kerupuk kulit sebesar Rp. 73,508,-, nilai HPP ini dipakai oleh produsen
sebagai acuan dalam penentuan harga pokok penjualan kepada
konsumen.
Usaha produksi kerupuk kulit selama satu bulan dengan
menggunakan 2 orang tenaga kerja dapat menghasilkan 50 kg kerupuk
kulit, harga jual kerupuk tersebut adalah Rp. 117.500,- per kg, adapun
penghitungan marjin kontribusi (MK) dari usaha tersebut adalah sebagai
berikut:
MK = Rp. 5.875.000,- -(Rp. 3,675,409.50,- + Rp. 1.670.000,-)
MK = Rp. 529,590.50,-
Hasil penghitungan tersebut menunjukkan bahwa usaha kerupuk kulit
tersebut dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 529,590.50,- selama
satu bulan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Proses produksi kerupuk kulit memiliki tahapan tertentu dari mulai
perendaman bahan baku, penyasapan, pembakaran bulu, perebusan,
penirisan, pengerokan bulu, pemotongan, penjemuran I,
pembumbuan, penjemuran II, penggorengan I, penggorengan II,
sampai dengan pengemasan.
2. Harga pokok produksi kerupuk kulit di PD. Sari Rasa adalah Rp.
73,508,- per kg, dan margin kontribusi sebesar Rp. 529,590.50,- per
bulan.

Daftar Pustaka
1. Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Diakses dari
http://www.bps.go.id/. Tanggal 15 June 2009.

2. Buckle, K.A., Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu
Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. UI. Press.
Jakarta.

3. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1996. Standar dan
Cara Uji Kerupuk Kulit. Standar Nasional Indonesia (SNI). No:
01-4308. Jakarta.

4. Djojowidagdo, S. 1988. Kulit Kerbau Lumpur Jantan, Sifat-Sifat
dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Wayang Kulit Purwa.
Universitas Gadjahmada. Yogyakarta.

5. Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington, 1994. Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Ed-2. Gajah Mada University Press.

6. Highberger, J. 1978. The Chemical Structure and Macromolecular
Organization of the Skin Protein. Chap. 4 Vol.1. in the
Chemistry and Technology of Leather. F.O’Flaherty, W.T.
Roddy, and R.M. Lollar eds. Robert E Krieger Publishing Co.,
Hutington, New York.

7. Ketaren, 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan,
UI Press, Jakarta.

8. Nasution A. H., 2006, Manajemen Industri, Andi Offset, Jogjakarta.

9. Parathasarathi K. 2000. Manual on Tanning And Finishing.
Consultant UNIDO. India.

10. Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan
Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.

11. Suparno, 1994, Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University
Press. Jogjakarta.

12. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1984. Pengantar
Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar