Minggu, 16 Mei 2010

PRODUCTION IDENTIFICATION AND ECONOMIC ANALISYS OF BUFFALO HIDE CRACKER AT PRODUCER IN CENTRE OF LEATHER INDUSTRY SUKAREGANG, GARUT

PRODUCTION IDENTIFICATION AND ECONOMIC ANALISYS OF
BUFFALO HIDE CRACKER AT PRODUCER IN CENTRE
OF LEATHER INDUSTRY SUKAREGANG, GARUT

Jajang Gumilar
Faculty of Animal Husbandry - Unpad

Abstract
The aims of this research were to identify of production process and
economic analysis of buffalo hide cracker that produce in centre of leather
industry Sukaregang, Garut. Method that used was case study at PD. Sari
Rasa. Observation has been held on all of the process stages to identified
production process. Economic analysis was done by identification all of
the cost that used to produce buffalo hide crackers. The buffalo hide
cracker has specific production stages begin from soaking, slicing,
burning, steaming, drying, scudding, cutting, first sun burning, flavouring,
second sun burning, first fried, second fried, and packaging. Buffalo hide
cracker production cost at PD. Sari Rasa was Rp. 66.708 per kg and
contribution margin was Rp. 869.588 per month.

Key words: production process, economic analysis, buffalo hide cracker

IDENTIFIKASI PROSES PRODUKSI DAN ANALISIS EKONOMIS
KERUPUK KULIT KERBAU PADA PRODUSEN DI SENTRA
INDUSTRI KULIT SUKAREGANG, GARUT

Jajang Gumilar
Fakultas Peternakan Unpad
(dipublikasikan pada Proseding Seminar Nasional Pembangunan Peternakan Berkelanjutan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2009)


Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses produksi dan analisis
ekonomis kerupuk kulit kerbau yang diproduksi di sentra industri kulit
Sukaregang, Kabupaten Garut. Metode yang dilakukan adalah metode
studi kasus di PD. Sari Rasa. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh
prosedur dan tahapan pembuatan kerupuk kulit kerbau untuk
mengidentifikasi proses produksi. Analisis ekonomis dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul pada saat pembuatan kerupuk
kulit kerbau sampai dengan proses penjualan. Proses produksi kerupuk
kulit kerbau memiliki tahapan tertentu dari mulai perendaman bahan
baku, penyasapan, pembakaran bulu, perebusan, penirisan, pengerokan
bulu, pemotongan, penjemuran I, pembumbuan, penjemuran II,
penggorengan I, penggorengan II, sampai dengan pengemasan. Harga
pokok produksi kerupuk kulit kerbau di PD. Sari Rasa adalah Rp. 66.708
per kg, dan margin kontribusi sebesar Rp. 869.588 per bulan.

Kata Kunci: proses produksi, analisis ekonomis, kerupuk kulit kerbau


Pendahuluan
Pemanfaatan kulit sebagi salah satu hasil sampingan (by product)
sangat beragam. Pengrajin yang bergerak dalam pengolahan kulit
memproduksi kulit menjadi makanan dan non makanan. Produk makanan
yang berasal dari kulit seperti kerupuk kulit, kerupuk dorokdok, kerupuk
dengkul, kerecek, sate kulit, dan lain sebagainya. Produk non makanan
yang berbahan baku kulit seperti produk fashion (jaket, baju, rok, celana,
sepatu, tas, sabuk, dll), perlengkapan olah raga (bola, sarung tangan golf,
dll), perlengkapan otomotif (sarung jok, interior mobil, dll), perlengkapan
kerja (jaket pengaman, safety shoes, chamois, belt, dll), dan lain
sebagainya.
Kulit kerbau sebagai salah satu jenis kulit yang banyak tersedia di
tempat pemotongan hewan sebagai hasil ikutan dari kerbau yang
disembelih untuk keperluan daging kerbau banyak diolah menjadi produk
makanan. Ketersediaan kulit kerbau secara nasional dari tahun ketahun
mengalami peningkatan hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah ternak
kerbau yang dipotong. Berdasarkan data Statistik Indonesia, selama
tahun 2006 jumlah kerbau yang dipotong mencapai 92,636 ekor dan
pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 2,3 % yaitu sebanyak
94,799 ekor. Tempat pemotongan paling banyak dilakukan di Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Utara. Populasi kerbau di Jawa Barat
sebetulnya bukan yang terbanyak, hanya menempati posisi keempat.
Berikut adalah jumlah populasi kerbau berdasarkan data statistik
Indonesia Tahun 2007. Provinsi Nangroe Aceh Daruslam (390.334 ekor),
Sumtera Barat (192.148 ekor), Sumatera Utara (189.167 ekor), dan Jawa
Barat (149.030 ekor). Banyaknya kerbau yang dipotong di Jawa Barat
berpengaruh terhadap ketersediaan kulit kerbau sebagai bahan baku
produk pangan seperti kerupuk kulit.
Kerupuk kulit sudah berkembang dan populer di Indonesia, bahkan
dibeberapa Negara di Asia tenggara seperti Vietnam, dan Thailand. Di
Indonesia kerupuk kulit diproduksi di berbagai wilayah dengan nama yang
berbeda-beda. Di Jawa Barat dikenal dengan nama kerupuk kulit, di Jawa
Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan sebutan kerupuk rambak. Selain
di Pulau Jawa, kerupuk kulit juga di produksi di pulau-pulau lain seperti di
Sumatera, dan Kalimantan.
Kulit kerbau seperti halnya kulit ternak pada umumnya tersusun
dari jaringan yang secara histologis terdiri dari epidermis, corium dan
jaringan-jaringan lain yang terdapat di dalamnya. Epidermis merupakan
Epitheel squamousa complex berupa protein fibrous yaitu keratin, selain
itu terdapat pula lemak, karbohidrat, dan zat warna melanin. Corium
terdiri dari protein fibrous, protein globular, karbohidrat, mineral, enzim,
dan air (Djojowidagdo, 1988).
Kandungan total protein pada kulit kerbau hampir sama dengan
kandungan protein kulit pada umumnya yaitu 33 persen, sebagian besar
bentuk protein kulit adalah protein fibrous, berupa protein kolagen, elastin,
retikulin, serta keratin. Protein di dalam kulit yang paling banyak adalah
serabut kolagen sekitar 80-90 persen dari total protein (Highberger,
1978). Protein kolagen berbeda dengan protein lain pada umumnya.
Protein kolagen mengandung asam amino glysine sekitar 33 persen,
imino residues, hydroksiprolin, dan hydroksilysin.. Mengingat tingginya
kandungan protein didalam kulit maka tidaklah heran kalau banyak
masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi produk-produk
pangan dengan bahan dasar dari kulit, seperti kerecek, kerupuk kulit,
kerupuk dorokdok dan lain-lain.
Produk pangan berban baku kulit yang paling populer adalah
kerupuk kulit. Kerupuk kulit didefinisikan sebagai produk makanan ringan
yang dibuat dari kulit sapi (Bos indicus) atau kerbau (Bos bubalis) melalui
tahapan proses pembuangan bulu, pengembangan kulit, perebusan, dan
pengemasan untuk kerupuk kulit mentah atau dilanjutkan dengan
penggorengan untuk kerupuk kulit siap konsumsi (SNI 01-4308,1996).
Berdasarkan definisi tersebut kerupuk kulit dapat berbahan baku kulit sapi
atau kulit kerbau, tetapi pada umumnya kerupuk kulit berbahan baku dari
kulit kerbau. Pembuatan kerupuk kulit juga sudah memiliki tahapan
tertentu sesuai dengan pendapat Nasution (2006) yang mengemukakan
bahwa proses konversi dari input (bahan baku, SDM, dan lain-lain)
menjadi output yang diinginkan (produk atau jasa) membutuhkan suatu
tahapan proses operasi yang berurutan. Oleh karena itu berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut dapat diperkirakan bahwa proses
pembuatan kerupuk kulit memiliki tahapan tertentu serta usaha produksi
kerupuk kulit memiliki keuntungan positif.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus di PD. Sari
Rasa. yang beralamat di Sukaregang, Kabupaten Garut. Dipilihnya
pengrajin tersebut menjadi objek penelitian karena pengrajin tersebut
merupakan salah satu pengrajin Kerupuk kulit terbesar di Sukaregang
serta proses produksi dan penjualannyapun selalu berkelanjutan.
Pengamatan dilakukan pada saat kulit kerbau segar garaman
diproses menjadi kerupuk kulit. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh
prosedur dan tahapan dalam membuat kerupuk kulit untuk
mengidentifikasi proses produksi. Analisis ekonomi dilakukan dengan
mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul pada saat pembuatan
kerupuk kulit, dari mulai awal proses produksi sampai dengan proses
penjualan dilaksanakan oleh produsen kerupuk kulit.

Analisis proses produksi dilakukan dengan mengidentifikasi proses
konversi dari input menjadi output yang membutuhkan suatu tahapan
berurutan, oleh karena itu proses produksi yang berberhasil
diidentifikasi kemuadian dibuatkan flow chart produksi (Nasution, 2006).
Analisis ekonomis dilakukan dengan mengidentifikasi seluruh biaya
langsung kemudian dikelompokan menjadi cost of manufacturing, serta
dianalisis harga pokok produksinya dengan menggunakan persamaan
yang dikemukakan oleh Nasution (2006) sebagai berikut:
CoM
HPP =
N

dimana:
HPP = harga pokok produksi
CoM = cost of manufacturing
N = jumlah produksi pada periode tersebut

Untuk analisis keuntungan dilakukan analisis marjin kontribusi, dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
MK = P – (VC + FC)
Dimana:
MK = marjin kontribusi
P = total penjualan
VC = total biaya tidak tetap (biaya perolehan)
FC = total biaya tetap

Hasil Dan Pembahasan
Proses Produksi Kerupuk kulit
Proses produksi kerupuk kulit dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bahan baku kerupuk
kulit adalah kulit kerbau segar kemudian di rendam didalam bak yang
telah disediakan. Perendaman dilakukan selama empat hari. Air yang
digunakan untuk merendam kulit kerbau segar adalah air sumur, setiap
hari air diganti dengan air yang baru. Tujuan proses perendaman adalah
untuk membersihkan kulit, mengembalikan kondisi kulit menjadi seperti
kulit awet yang baru ditanggalkan dari badannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Purnomo (1985), bahwa perendaman dan pencucian bertujuan
untuk mengembalikan sifat kulit mentah menjadi seperti semula (kulit
segar) dimana kulit menjadi lemas, lunak, dan tidak memberikan
perlawanan saat dipegang, serta agar kulit bersih dari garam yang dipakai
pada saat pengawetan atau agar kotoran yang menempel pada kulit
tersebut menjadi bersih. Tahap selanjutnya adalah penyasapan yaitu
pembuangan bagian subcutis, penyasapan dilakukan dengan
menggunakan pisau sasapan sebagai alat bantu. Tujuan penyasapan
adalah untuk menghilangkan lemak dan sisa daging yang menempel
pada kulit bagian subcutis, hal ini sejalan dengan pendapat Winarno
(1984) bahwa kerupuk kulit sebaiknya dibuat dari kulit segar yang tebal
dan telah dipisahkan dari lemaknya.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Kerupuk kulit kerbau
Bahan baku
(kulit kerbau segar)


Perendaman
(4 hari)

Penyasapan

Pembakaran bulu

Perebusan

Penirisan

Pengerokan bulu

Pemotongan

Penjemuran I

Pembumbuan

Penjemuran II

Penggorengan I

Penggorengan II

Pengemasan

Pembakaran bulu dilakukan dengan cara membakar kulit bagian
epidermis yang masih berbulu diatas perapian. Pembakaran bulu
dilakukan dengan hati-hati dan cepat agar yang terbakar hanya bulunya
saja tidak sampai ke kulit. Tujuan proses pembakaran adalah untuk
menghilangkan bulu yang menempel pada kulit kerbau. Kulit yang telah
dibakar kemudian direbus. Perebusan bertujuan untuk membengkakan
kulit sehingga pori-pori kulit terbuka dan bulu yang masih menempel pada
kulit dapat dengan mudah ditanggalkan. Kulit yang dianggap sudah cukup
mengalami proses perebusan kemudian di tiriskan, setelah tidak panas
kulit dikerok untuk membersihkan bulu yang masih menempel pada kulit.
Pengerokan dilakukan sampai dengan kulit betul-betul bersih dari bulu
yang menempel pada kulit. Jadi proses ini adalah untuk menghilangkan
bulu beserta akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Parathasarathi,
2000)
Kulit yang telah dikerok kemudian dipotong kecil-kecil dengan
bentuk persegi panjang kira-kira berukuran 0,5 X 5 cm. Penjemuran
dilakukan setelah kulit dipotong-potong. Penjemuran dilakukan sampai
kulit betul-betul dalam kondisi kering dengan tanda-tanda kulit menjadi
keras, warna bening (seperti kaca), pada umumnya kulit menjadi kering
setelah dijemur selama 3 hari.
Pemberian bumbu dilakukan dengan cara merendam kulit yang
sudah kering tersebut kedalam bumbu yang telah diberi sedikit air,
adapun bumbu yang digunakan adalah garam, penyedap rasa, bawang
putih, gula, dan rempah-rempah. Gula yang diapakai dalam proses
kerupuk kulit adalah gula merah karena gula merah memiliki rasa yang
manis sehingga dapat digunakan untuk bumbu masakan (Encarta, 2000).
Tahap berikutnya dalam pembuatan kerupuk kulit adalah tahapan
penjemuran. Kulit yang telah di rendam oleh bumbu kemudian dijemur
selama satu hari. Setelah kulit kering kemudian dilakukan penggorengan
dengan cara penggorengan dua tahap. Penggorengan tahap I dilakukan
secara cepat (30 detik) kemudian ditiriskan sampai dingin kembali.
Penggorengan tahap II dilakukan sampai dengan kerupuk kulit benar-
benar mengembang. Sistem penggorengan yang dilaksanakan
menggunakan sistem deep frying dengan suhu minyak kelapa mencapai
200 – 205 0 C (Ketaren, 1986).
Tahap terakhir dalam pembuatan kerupuk kulit adalah tahap
pengemasan. Pengemasan kerupuk kulit pada umumnya hanya dilakukan
dengan menggunakan plastik transparan, dengan tujuan untuk
melindungi kerupuk dari pencemaran dan kerusakan. Hal ini sejalan
dengan fungsi pengemasan yang dikemukakan oleh Buckle (1987) yaitu
untuk mempertahankan produk agar bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemar lainnya, dan memberi
perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen,
dan sinar.

Analisis Ekonomis
Berdasarkan hasil survai di pengrajin kerupuk kulit tersebut
banyaknya kerupuk kulit yang dapat diproduksi dalam satu bulan
sebanyak 200 kg kulit segar dengan tingkat rendemen 25%, tenaga kerja
yang terlibat dalam proses produksi sebanyak 2 orang tenaga kerja tetap
dan 3 orang tenaga kerja borongan selama 8 hari kerja untuk menjemur
dan pakcing, adapun struktur biaya dan pendapatan yang dapat
diidentifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laba (Rugi) Usaha Produksi Kerupuk kulit
Pendapatan
Penjualan 5.875.000
Biaya
Biaya Variabel
Biya Bahan Baku 2,000,000
Bawang Putih 10,310
Garam Meja 5,250
Penyedap Rasa 5,850
Minyak Kelapa 150,000
Minyak Tanah 108,000
Plastik 36,000
Tenaga Kerja Langsung 1,000,000
Tenaga Kerja Borongan 300,000
Penyusutan Pabrik 60,000
Total Biaya Variabel 3,675,409.50
Biaya Tetap
Biaya Tenaga Kerja (Gaji Pimpinan) 1,500,000.00
Listrik 20,000.00
Telpon 50,000.00
Transportasi 100,000.00
Total Biaya Tetap 1,670,000.00
Total Biaya 5,345,409.50
Laba / (Rugi) 529,590.50

Harga Pokok Produksi (HPP) kerupuk kulit dapat dihitung sebagai
berikut:

HPP = Rp. 73,508 / kg.

Berdasarkan perhitungan tersebut maka didapat nilai HPP per kilo gram
kerupuk kulit sebesar Rp. 73,508,-, nilai HPP ini dipakai oleh produsen
sebagai acuan dalam penentuan harga pokok penjualan kepada
konsumen.
Usaha produksi kerupuk kulit selama satu bulan dengan
menggunakan 2 orang tenaga kerja dapat menghasilkan 50 kg kerupuk
kulit, harga jual kerupuk tersebut adalah Rp. 117.500,- per kg, adapun
penghitungan marjin kontribusi (MK) dari usaha tersebut adalah sebagai
berikut:
MK = Rp. 5.875.000,- -(Rp. 3,675,409.50,- + Rp. 1.670.000,-)
MK = Rp. 529,590.50,-
Hasil penghitungan tersebut menunjukkan bahwa usaha kerupuk kulit
tersebut dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 529,590.50,- selama
satu bulan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Proses produksi kerupuk kulit memiliki tahapan tertentu dari mulai
perendaman bahan baku, penyasapan, pembakaran bulu, perebusan,
penirisan, pengerokan bulu, pemotongan, penjemuran I,
pembumbuan, penjemuran II, penggorengan I, penggorengan II,
sampai dengan pengemasan.
2. Harga pokok produksi kerupuk kulit di PD. Sari Rasa adalah Rp.
73,508,- per kg, dan margin kontribusi sebesar Rp. 529,590.50,- per
bulan.

Daftar Pustaka
1. Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Diakses dari
http://www.bps.go.id/. Tanggal 15 June 2009.

2. Buckle, K.A., Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu
Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. UI. Press.
Jakarta.

3. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1996. Standar dan
Cara Uji Kerupuk Kulit. Standar Nasional Indonesia (SNI). No:
01-4308. Jakarta.

4. Djojowidagdo, S. 1988. Kulit Kerbau Lumpur Jantan, Sifat-Sifat
dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Wayang Kulit Purwa.
Universitas Gadjahmada. Yogyakarta.

5. Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington, 1994. Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Ed-2. Gajah Mada University Press.

6. Highberger, J. 1978. The Chemical Structure and Macromolecular
Organization of the Skin Protein. Chap. 4 Vol.1. in the
Chemistry and Technology of Leather. F.O’Flaherty, W.T.
Roddy, and R.M. Lollar eds. Robert E Krieger Publishing Co.,
Hutington, New York.

7. Ketaren, 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan,
UI Press, Jakarta.

8. Nasution A. H., 2006, Manajemen Industri, Andi Offset, Jogjakarta.

9. Parathasarathi K. 2000. Manual on Tanning And Finishing.
Consultant UNIDO. India.

10. Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan
Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.

11. Suparno, 1994, Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University
Press. Jogjakarta.

12. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1984. Pengantar
Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.

THE EFFECTS OF SULFURIC ACID (H2SO4) VARIUOS LEVEL USE ON WET BLUE QUALITY OF PRIANGAN SHEEP SKIN

PENGARUH PENGGUNAAN BERBAGAI TINGKAT ASAM SULFAT (H2SO4)
PADA PROSES PIKEL TERHADAP KUALITAS KULIT WET BLUE DOMBA
PRIANGAN JANTAN

Jajang Gumilar
Fakultas Peternakan Unpad.
(dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran,
Volume 5, Tahun 2006)

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai
tingkat asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel terhadap kualitas kulit wet blue
domba priangan jantan. Kualitas kulit wet blue didasarkan pada kadar air, nilai
keasaman (pH), dan kadar krom (Cr2O3). Penelitian ini dilakukan secara
eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap menggunakan 20 lembar kulit
domba priangan jantan yang termasuk dalam klasifikasi kulit kecil. Penelitian
terdiri atas lima perlakuan tingkat asam sulfat yaitu R1 = 0,5%, R2 = 1%, R3 =
1,2%, R4 = 1,5%, dan R5 = 2% asam sulfat dihitung dari berat bloten, masing-
masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan berbagai tingkat asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel
berpengaruh (P<0,05) terhadap nilai keasaman (pH), dan kadar krom (Cr2O3)
kulit wet blue domba priangan jantan. Penggunaan asam sulfat terbaik pada
penelitian ini adalah perlakuan ketiga (R3 = 1,2%).

Kata kunci : asam sulfat, proses pikel, kualitas, wet blue, domba priangan
jantan


THE EFFECTS OF SULFURIC ACID (H2SO4) VARIUOS LEVEL USE ON WET
BLUE QUALITY OF PRIANGAN SHEEP SKIN

Jajang Gumilar
Animal Husbandry - Unpad

Abstract
The aims of this research were to found out the effects of sulfuric acid (H2SO4)
various level use on wet blue quality of Priangan sheep skin. The quality of wet
blue skin based on water (H2O) concentration, pH value, and crom (Cr2O3)
concentration. This research was conducted experimentally with completely
randomized design used 20 pieces of small priangan sheep skins. This
research contained five treatments, there were R1 = 0,5%, R2 = 1%, R3 = 1,2%,
R4 = 1,5%, and R5 = 2% of sulfuric acid that calculated on bloten weight, each
treatments were replicated fourth times. The results indicated that various levels
of sulfuric acid (H2SO4) used were significant (P<0,5) on pH value, and
Crom(Cr2O3) concentration of wet blue sheep skin. The best sulfuric acid
(H2SO4) used at this research was third treatment (R3 =1,2%).

Key word: sulfuric acid, pickling process, quality, wet blue skin, priangan
sheep.


Pendahuluan
Produksi kulit domba di Jawa Barat memiliki potensi pengembangan yang
cukup besar dibandingkan dengan produksi kulit ternak lain, hal ini dapat dilihat
dari jumlah domba di Jawa Barat. Berdasarkan data statistik Jawa Barat Dalam
Angka tahun 2004, populasi domba di Jawa Barat paling besar dibanding
ternak lainnya dengan rincian sebagai berikut: domba 3.529,4 ribu, kambing
1.144,1 ribu, sapi potong 232,9 ribu, kerbau 149,9 ribu , sapi perah 98,9 ribu,
babi 8,1 ribu, dan kuda 14,2 ribu. Populasi domba secara nasional 41% berada
di Jawa Barat. Domba yang dipelihara oleh peternak di Jawa Barat sebagian
besar adalah domba priangan. Domba merupakan ternak yang paling banyak
dipotong di Jawa Barat yaitu sebanyak 542,9 ribu ekor. Semakin banyak ternak
dipotong menyebabkan ketersediaan kulit juga semakin banyak, hal ini terjadi
karena sifat kulit bukan sebagai produk utama (main products) tetapi hanya
sebagai hasil ikutan (by products) dari ternak yang dipotong.
Kulit domba segar dikenal dengan istilah skin yaitu kulit segar atau kulit
mentah yang memiliki berat kurang dari 15 kg. Kulit mentah (skin dan hide)
merupakan produk hasil peternakan yang memiliki nilai tambah tinggi apabila
telah mengalami proses lebih lanjut menjadi kulit hasil olahan (pickle, wet blue,
crust, dan leather). Kulit segar (kulit baru ditanggalkan dari hewannya) yang
disimpan tanpa proses pengawetan akan cepat mengalami kerusakan. Kulit
segar memiliki sifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk
tumbuh dan berkembangbiaknya mikro organisme. Kerusakan karena mikro
organisme ini akan berpengaruh terhadap kualitas kulit jadi (leather). Kualitas
leather, baik secara fisik maupun kimia dipengaruhi juga oleh jenis, umur, dan
sex. Kulit domba jantan sangat baik dibuat leather untuk keperluan garment
karena kulit ini memiliki beberapa kelebihan seperti bagian kulitnya secara
topografis relatif homogen, lebih supel, tebal dan berisi, kekuatannya secara
fisik lebih tinggi, dan kulit jadinya tidak banyak yang keriput.
Kulit mentah yang telah mengalami proses lebih lanjut menjadi kulit hasil
olahan, dapat lebih tahan terhadap perubahan kimia maupun fisik. Secara
kimia, susunan kimiawi kulit telah mengalami perubahan dimana zat-zat kimia
yang mudah mengalami hidrolisis seperti lemak pada kulit menjadi lebih stabil.
Begitu juga dengan protein, yang asalnya mudah dijadikan media hidup oleh
mikro organisme berubah menjadi senyawa-senyawa yang tidak disukai oleh
mikro organisme. Selain itu kulit hasil olahan memiliki daya tahan terhadap
perubahan fisik seperti perubahan suhu, kelembaban, gesekan, dan lain-lain.
Proses pikel merupakan proses awal yang sangat penting pada tahapan
pengolahan kulit. Proses pikel memiliki beberapa fungsi diantaranya untuk
mengawetkan kulit yang tidak langsung diproses karena menunggu sampai
jumlah tertentu agar proses produksi mencapai skala ekonomis, atau
menunggu pesanan dari konsumen. Pengawetan secara pikel dapat
meningkatkan daya simpan kulit sampai satu tahun apabila disimpan dalam
rendaman pikel. Selain itu tempat penyimpanan persediaan kulit menjadi lebih
kecil karena kulit hanya bagian corium (true skin) saja. Apabila persediaan kulit
sudah mencapai jumlah tertentu atau sudah ada pesanan dari konsumen maka
kulit pikel dapat langsung dilakukan proses penyamakan sehingga waktu
proses menjadi lebih singkat.

Proses pikel adalah proses untuk mengubah kondisi kulit menjadi asam.
Asam sulfat (H2SO4) merupakan zat kimia yang paling banyak digunakan pada
proses pikel oleh masyarakat penyamak kulit. Saat ini, penggunaan asam sulfat
untuk membuat kulit pikel pada domba priangan sangat bervariasi antara satu
penyamak dengan penyamak lainnya. Penggunaan asam sulfat tersebut
didasari oleh pengalaman empirik tiap-tiap penyamak dan belum diketahui
dengan pasti berapa tingkat penggunaan asam sulfat yang optimal dalam
proses pikel kulit domba priangan, khususnya domba priangan jantan.
Beberapa ahli juga mengemukakan jumlah penggunaan asam sulfat yang
berbeda-beda pada proses pikel, diantaranya menurut Judoamidjodjo (1980)
sebanyak 1,5 – 2%, menurut Purnomo (1985) sebanyak 1%, dan menurut
Sarkar (1995) sebanyak 0,5-1,2%.
Kulit wet blue adalah kulit hewan yang disamak sampai proses penyamakan
krom, tetapi tidak diproses selanjutnya dan masih dalam keadaan basah. Pada
umumnya untuk menghasilkan kulit samak yang disamak dengan zat penyamak
krom (kulit wet blue), sebelumnya kulit harus melalui proses pengasaman
(pikel) pada pH antara 3 – 3,5, karena pH zat penyamak krom sebesar 2,8 –
3,0. Apabila kulit tidak melalui proses pikel maka akan terjadi kontraksi pada
jaringan kulit dan terjadi perbesaran molekul krom secara spontan (karena
kenaikan pH basisitet) yang menyebabkan kulit lebih cepat matang pada bagian
luar. Hal ini akan mengakibatkan tertutupnya jalan untuk penetrasi cairan krom
berikutnya sehingga kulit lama masaknya dan tidak dapat disamak secara
sempura (Edi Purnomo, 1985).
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian pengaruh
penggunaan asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel terhadap kualitas kulit wet
blue domba priangan jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh penggunaan asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel terhadap
kadar air, kadar keasaman, dan kadar krom kulit wet blue domba priangan
jantan serta untuk mengetahui jumlah terbaik penggunaan asam sulfat pada
proses pikel tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi penggunaan asam sulfat pada proses pikel dalam usaha memperbaiki
kualitas kulit wet blue domba priangan jantan.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan 20 lembar kulit domba priangan jantan dengan
rataan berat 0,53 ± 0.04 kg, yang diperoleh dari pengumpul kulit domba di
Wanaraja, Kabupaten Garut. Kulit-kulit tersebut dibagi kedalam 5 kelompok.
Tiap-tiap kelompok diberikan perlakuan pemberian asam sulfat (H2SO4) teknis
99%, sesuai dengan pendapat Judoamidjodjo (1981), Purnomo (1985), serta
Sarkar (1995) yaitu sebanyak 0,5% (R1); 1% (R2); 1,2% (R3); 1,5% (R4); dan 2%
(R5) dari berat kulit bloten.
Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan kulit domba
priangan jantan dalam bentuk kulit segar garaman dengan klasifikasi kulit kecil
(kids or small below) yaitu ukuran panjang dari ujung ekor sampai ujung pundak
lebih kecil dari 28 inchi (Sarkar, 1991). Kulit segar garaman kemudian
ditimbang untuk penentuan kebutuhan air dan zat kimia pada proses soaking
dan limming.

Kulit dimasukkan ke dalam drum soaking lalu dicuci dengan air mengalir
sampai bersih, kemudian airnya dibuang. Proses soaking (pelemasan kulit)
dilakukan dengan mengganti air dan menambahkan wetting agent serta
Na2CO3, kemudian drum diputar (2 rpm) selama dua jam. Proses limming
(pembuangan bulu dan lapisan epidermis) dimulai dengan memasukan Na2S,
wetting agent, Ecovit, dan Ca(OH)2. Drum diputar 2 rpm dengan
mengkombinasikan antara pemutaran, pengistirahatan, dan perendaman
selama 12 jam.
Drum diputar selama satu jam sebelum kulit dikeluarkan dari dalam
drum, kemudian dilakukan proses fleshing dengan menggunakan mesin
fleshing untuk menghilangkan lapisan subcutis. Bulu kecil yang masih
menempel pada kulit dibuang dengan menggunakan pisau scudding.
Kulit yang sudah terpisah dari lapisan epidermis, bulu, dan lapisan
subcutis ditimbang untuk memperoleh berat bloten yang dipakai sebagai dasar
pada penentuan kebutuhan air dan zat kimia lainnya saat proses delliming,
batting, pickling, dan tanning. Kulit bloten dicuci dengan cara mengalirkan air
ke dalam drum pickling yang sedang berputar sampai nilai kulit mencapai pH 8
kemudian airnya dibuang. Proses buang kapur (delimming) dilakukan dengan
cara memasukan air ke dalam drum pickling, ditambahkan ammonium sulfat
((NH4)2SO4) kemudian diputar selama 90 menit. Batting agent dan wetting
agent ditambahkan pada proses pengikisan protein (batting), kemudian drum
pickling diputar selama dua jam.
Pencucian dengan air mengalir sambil drum tetap diputar sampai
dengan mencapai pH 7 dilakukan sebelum proses pikel. Proses pikel
dilakukan dengan menambahkan air, NaCl, NaHCOOH, HCOOH, dan H2SO4
yang diberikan sesuai dengan dosis perlakuan, kemudian drum diputar selama
dua jam. Setelah pH mencapai 3 diteruskan proses penyamakan (tanning),
dimulai dengan membuang air pikel, memasukan Na2SO4, Cr2(SO4)3, sodium
asetat, NaHCOOH, dan Na2CO3, kemudian drum tanning diputar selama 3 jam.
Penelitiaan menggunakan metode eksperimental. Rancangan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan
penggunaan asam sulfat (H2SO4) yaitu: R1 = 0,5%; R2 = 1%; R3 = 1,2%; R4 =
1,5%; dan R5 = 2% dari berat bloten. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat
kali. Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kualitas kulit domba wet
blue yang terdiri atas: kadar air, nilai keasaman (pH), dan kadar krom (Cr2O3).
Pengukuran peubah mengacu kepada Standar Industri Indonesia (SII)
No.0067-75 tentang Mutu dan Cara Uji Kulit Wet Blue Domba/Kambing. Uji
untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan analisis ragam, sedangkan
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji jarak berganda
Duncan pada taraf kepercayaan lima persen.

Hasil Dan Pembahasan
Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Air Kulit Wet Blue Domba Priangan
Jantan
Hasil pengujian kadar air kulit wet blue domba priangan jantan yang
diberi perlakuan berbagai tingkat asam sulfat, menunjukkan trend penurunan
seiring dengan bertambahnya pemberian asam sulfat pada proses pikel.
Walaupun demikian setelah dilakukan analisis ragam tidak terdapat perbedaan
nyata untuk semua perlakuan (Tabel 1).
Tidak berbedanya kadar air tiap perlakuan pada kulit wet blue domba
priangan jantan disebabkan pada saat proses pikel kadar air sudah mengalami
penurunan sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Woodrofe (1948)
bahwa proses pikel mengeluarkan sejumlah air yang ada pada kulit segar,
terutama air bebas yang ada pada kulit. Selain air bebas, air terikat juga turut
keluar sebagai akibat terjadinya denaturasi protein yang ada di dalam kulit
karena pengaruh asam. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (1998) yang
mengemukakan bahwa pada proses denaturasi protein terjadi perubahan ikatan
polipeptida protein yang akhirnya air terikat di dalam protein jadi terlepas.
Keluarnya air dari kulit juga terjadi pada proses penyamakan yaitu pada saat
terjadinya pengikatan antara molekul-molekul krom kompleks di dalam kulit.
Pendapat ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Judoamidjodjo
(1981) yang menyatakan bahwa pada proses penyamakan terjadi proses
olation yaitu suatu pengikatan antara dua molekul yang sama (molekul
kompleks) menjadi molekul yang lebih besar dengan mengeluarkan air.
Keluarnya air bebas serta air terikat pada proses pikel dan proses penyamakan,
dapat menyebabkan kadar air yang masih ada di dalam kulit wet blue
mengalami penurunan sehingga jumlahnya menjadi relatif sama untuk tiap
perlakuan.
Berdasarkan standar SII No. 0067-75 tentang Mutu dan Cara Uji Kulit
Wet Blue Domba/Kambing, kadar airnya berkisar antara 50%-60%. Kadar air
kulit wet blue yang diberi perlakuan asam sulfat dari mulai R1 sampai dengan
R5 menghasilkan kulit wet blue dengan kadar air sebesar 59,08% sampai
dengan 59,40%. Mengacu pada SII tersebut maka kualitas kulit wet blue hasil
perlakuan masih sesuai dengan standar yang berlaku.

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Kulit Wet Blue Domba Priangan
Jantan
Nilai pH wet blue pada masing-masing perlakuan menunjukkan pola
semakin naik seiring dengan penambahan asam sulfat pada proses pikel. Hasil
uji statistik dengan menggunakan uji Jarak Berganda Duncan menunjukkan
bahwa nilai pH pada perlakuan R3, R4, dan R5 lebih besar (P<0,05)
dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2, perlakuan R2 lebih besar (P<0,05)
dibandingkan dengan R1, sedangkan perlakuan R3, R4, dan R5 masing masing
tidak berbeda nyata (Tabel 2).
Peningkatan penambahan asam sulfat pada proses pikel menyebabkan
peningkatan nilai pH kulit wet blue, kondisi ini diduga karena zat penyamak
krom yang terikat dalam kulit wet blue semakin banyak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Woodrofe (1948) bahwa asam yang digunakan pada proses pikel
berfungsi untuk memecah ikatan silang diantara fibril-fibril kulit sehingga
memperluas ruang antara fibril dengan polipeptida di dalam kulit yang siap diisi
oleh zat penyamak. Zat penyamak krom yang berikatan dengan fibril kulit
memiliki sifat basa sebagaimana dikemukakan oleh Purnomo (1985) bahwa
krom kompleks yang berikatan dengan fibril kulit sebagai gugus hidroxo yang
bersifat basa, selain itu pada proses olation terbentuk garam kromium basa
yang stabil.

Nilai pH berdasarkan SII No. 0067-75 adalah 3,6-3,86. Nilai pH kulit wet
blue yang diberikan perlakuan asam sulfat hanya R3 dan R4 yang memiliki nilai
pH sesuai dengan standar tersebut. Mengingat R3 dan R4 tidak berbeda nyata
satu sama lain, maka perlakuan R3 adalah yang terbaik pada penelitian ini
ditinjau dari nilai pH kulit wet blue domba priangan jantan.


Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Krom Kulit Wet Blue Domba
Priangan Jantan
Krom merupakan salah satu zat penyamak yang banyak digunakan pada
prosesing kulit, karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya kulit jadi
(leather) lebih halus, lebih tahan terhadap panas, dan lebih tahan sobek. Hasil
pengujian kadar krom sebagai pengaruh dari perlakuan penggunaan asam
sulfat (H2SO4) pada proses pikel menghasilkan kadar krom semakin
meningkat. Berdasarkan analisis ragam terdapat perbedaan nyata (P<0,05)
pengaruh penggunaan asam sulfat terhadap kadar krom kulit wet blue domba
Priangan jantan. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji
jarak berganda Duncan. Hasil perhitungan uji jarak berganda Duncan dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa dari mulai perlakuan R1 sampai
dengan R4 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata satu sama lain, perlakuan
R5 berbeda nyata (P<0,05) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan R1 dan
R2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3, dan R4. Tingginya
kandungan krom di dalam kulit wet blue yang dihasilkan oleh perlakuan R5
dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2 diduga sebagai akibat konsentrasi
asam sulfat menyebabkan kondisi kulit lebih asam sehingga krom dapat
bereaksi lebih sempurna dengan kolagen kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Purnomo (1985) yang mengemukakan bahwa pH zat penyamak krom antara
2,8-3,0. Bila kulit tidak diasamkan (dipikel), di samping terjadi kontraksi juga
dimungkinkan adanya perbesaran molekul krom secara spontan yang
mengakibatkan kulit cepat matang pada bagian luarnya yang selanjutnya akan
menutup jalan untuk penetrasi cairan krom berikutnya.
Kadar krom di dalam kulit wet blue domba menurut SII No. 0067-75
berkisar antara 5 – 6%. Perlakuan yang menghasilkan kadar krom sesuai
dengan standar tersebut adalah perlakuan R2 sampai dengan R4. Mengacu
kepada hasil uji statistik dan standar industri di Indonesia, maka perlakuan yang
terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan R3.

Kesimpulan
Penggunaan asam sulfat (H2SO4) pada proses pikel memiliki pengaruh
nyata terhadap nilai pH dan kadar krom kulit wet blue, tetapi tidak memberikan
pengaruh terhadap kadar airnya. Penggunaan asam sulfat sebanyak 1,2%
pada proses pikel memberikan kualitas terbaik pada kulit wet blue domba
priangan jantan.

Daftar Pustaka
Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1975. Mutu dan Cara Uji Kulit
Pikel Domba/Kambing. SII No. 0066-75. Jakarta.

Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung.

Judoamidjodjo R, M. 1980. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan.
Angkasa. Bandung.

Parathasarathi K. 2000. Manual on Tanning And Finishing. Consultant UNIDO.
India.

Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi
Teknologi Kulit. Yogyakarta.

Sarkar K , T. 1995. Theory And Practice Of Leather Manufacture. Mahatma
Gandhi Road. Madras. India.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta

West, E.S. 1963. Textbook of Biophysical Chemistry. 3th Ed. The Macmilan
Company. New York.

Winarno, S. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah. Edisi VII. Tarsito. Bandung.

Woodroffe D. 1948. Fundamentals Of Leather Science. A. Harper
Publisher. Duppas Hill Road. Inggris.

The relationship between Sheep Salty Leather Weight, Blotten Weight, and Wet Blue Weight with Leather Area

Hubungan Antara Berat Kuilt Domba Garaman, Berat Blotten dan Berat Wet Blue dengan Luas Kulit Jadi

Jajang Gumilar
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
(dipublikasikan pada proseding Seminar Nasional Perspektif Pengembangan Agribisnis Peternakan di Indonesia, Universitas Jendral Sudirman, 2010)

Abstract

The relationship between Sheep Salty Leather Weight, Blotten Weight, and
Wet Blue Weight with Leather Area

Jajang Gumilar

The aims of this research were to found out a relationship between sheep salty leather weight,
blotten weight, and wet blue weight with leather area. The method of this research was quasi-
experiment, it used 2.291 pieces of priangan sheepskins that were classified in large
sheepskin. It was devided in five groups, each group was processed from soaking until
finishing. Leathers area were measured by SNI 06-0483-1989 method. The results indicated
that there were significant correlation (P<0,5) r =" 0,916)." style="font-style: italic;">Key word: salty, blotten, wet blue, leather area

Pendahuluan
Kulit domba merupakan kulit yang ditanggalkan dari ternak domba. Kulit domba
digunakan sebagai bahan untuk garmen, sarung tangan, tas, sepatu wanita, dompet dan lain-
lain. Dibandingkan dengan jenis kulit ternak lain di Jawa Barat, kulit domba memiliki
potensi pengembangan yang paling besar, hal ini dapat dilihat dari potensi jumlah populasi
ternak domba sebagai ternak yang paling banyak terdapat di Jawa Barat, bahkan berdasarkan
data Statistik Indonesia Tahun 2008, lebih dari 44% ternak domba (4.605.417 ekor) berada di
Jawa Barat. Oleh karena itu tidaklah heran apabila pengrajin penyamakan kulit di Jawa Barat
mayoritas melakukan prosesing penyamakan kulit domba. Sebagian besar pengrajin
penyamakan kulit melakukan prosesing kulit dimulai dari kulit mentah garaman yang didapat
dari bandar kulit sampai dengan menjadi kulit jadi (leather), sedangkan sebagian kecil saja
dari pengrajin tersebut memulai proses produksinya dari kulit pikel.
Perdagangan kulit jadi dilakukan berdasarkan satuan luas kulit (square feet). Pembelian
kulit domba mentah segar dilakukan dalam satuan lembar dan pada awal proses serta
beberapa tahapan proses lainnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat kulit yang
akan diproses sebagai dasar penggunaan bahan kimia. Oleh karena itu sering terjadi
permasalahan di kalangan praktisi penyamakan kulit terhadap ketepatan penyediaan kulit
mentah segar sebagai bahan baku utama dalam memenuhi permintaan konsumen, baik
konsumen domestik maupun konsumen manca negara secara tepat.
Secara anatomis komposisi kulit dibagi menjadi tiga bagian yaitu epidermis, korium,
dan subkutis. Epidermis merupakan lapisan paling luar pada kulit. Lapisan ini tidak diikut
sertakan pada proses penyamakan kulit lepas bulu, besarnya lapisan ini adalah 1 % dari tebal
kulit. Korium adalah lapisan yang dipakai dalam proses penyamakan, bagian ini juga dikenal
dengan sebutan kulit sesungguhnya (true skin), lapisan ini paling besar komposisinya
dibandingkan bagian lainnya (85%). Bagian yang ketiga adalah bagian subkutis, bagian ini
besarnya 14% dari tebal kulit keseluruhan (Purnomo, 1985).
Bagian yang dipakai dalam proses pengawetan kulit adalah bagian korium (true skin),
sedangkan bagian-bagian lainnya seperti epidermis dan subkutis tidak diikutsertakan dalam
proses pengawetan kulit. Epidermis dibuang bersamaan dengan pembuangan bulu pada saat
proses liming dan scuding, sedangkan lapisan subkutis dibuang pada saat proses fleshing,
sehingga diperoleh berat bloten dari kulit tersebut. Berat bloten digunakan sebagai acuan
penggunaan bahan kimia pada proses pengasaman (pickling) dan penyamakan (tanning).
Kulit yang dihasilkan setelah proses penyamakan krom disebut kulit wet blue, kulit wet
blue kemudian di ketam (shaving) untuk meratakan kulit dan menipiskan kulit sesuai
dengan keinginan konsumen. Proses berikutnya adalah proses dyeing. Sebelum kulit tersebut
didyeing kulit ditimbang dahulu sebagai acuan penggunaan zat kimia pada proses tersebut.
Proses finishing digunakan untuk menyempurnakan tampilan kulit sebelum akhirnya kulit
dijual kepada konsumen sebagai kulit jadi (leather) dengan menggunakan satuan square feet.
Agar penimbangan berat dapat juga dipakai untuk memprediksikan kira-kira berapa
luas kulit jadi domba yang akan dihasilkan, maka perlu dilakukan kajian mengenai hubungan
antara berat kulit domba garaman, berat bloten dan berat wet blue dengan luas kulit jadi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berat kulit domba garaman, berat
kulit bloten, dan berat wet blue dengan luas kulit jadi.

Materi dan Metode
Obyek penelitian mengenai hubungan antara berat kulit domba garaman dan berat
bloten terhadap luas kulit jadi, dilakukan terhadap kulit domba sebanyak 2.291 lembar yang
diproses dalam 5 kelompok produksi. Masing-masing kulit diproses dari mulai proses
soaking sampai dengan proses finishing. Agar homogenitas penelitian ini dapat terjaga
dengan baik maka kulit yang dipakai dalam penelitian ini adalah kulit domba priangan
dengan klasifikasi kulit domba besar yaitu kulit-kulit domba mentah yang berukuran diatas
90 cm.
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen semu. Peubah yang diukur
adalah: berat kulit garaman, berat bloten, berat shaving, dan luas kulit jadi. Prosedur
pengukuran luas kulit jadi dilakukan sesuai dengan metode SNI 06-0483-1989 tentang
ukuran luas kulit masak.
Data primer yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan persamaan regresi ganda
(multiple regressions) agar diperoleh pola hubungan antara berat kulit domba garaman dan
berat bloten dengan luas kulit pickle. Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan
soft ware komputer SPSS 12.0. Besarnya korelasi antar variabel digunakan penafsiran
sesuai dengan pendapat Winarno, 1985.

Hasil Dan Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa berat kulit bloten adalah 68,6% dari berat kulit
utuh (berat kulit segar garaman). Hal ini menunjukkan bahwa selama proses soaking sampai
dengan proses fleshing telah terjadi pengurangan sebesar 31,4%. Penurunan ini sebagai akibat
dari lepasnya bulu, kulit bagian epidermis, dan kulit bagian subkutis sehingga pada saat
ditimbang berat bloten hanya merupakan berat kulit bagian koriumnya saja.
Komposisi lapisan korium sebesar 68,6% dari total berat kulit menunjukkan bahwa
persentase korium terhadap berat bloten cukup rendah bila dibandingkan dengan komposisi
korium terhadap berat kulit sebesar 85% sebagaimana yang dikemukakan oleh Purnomo
(1985). Selisih sebesar 16,4% dikarenakan pada saat kulit domba garaman ditimbang masih
ada bulu, dan sebagian garam yang menempel pada bulu dan kulit. Sebagaimana kita ketahui
bahwa karakteristik kulit domba priangan memiliki bulu yang cukup tebal sehingga secara
persentase akan menurunkan persentase berat bloten terhadap berat kulit mentah.
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa tiap satu kilogram berat kulit utuh (kulit
segar garaman) menghasilkan kulit jadi seluas 3,3 sq.ft., sedangkan tiap satu kilogram berat
kulit bloten menghasilkan kulit jadi seluas 4,7 sq.ft, dan setiap setengah kilogram kulit wet
blue menghasilkan kulit jadi seluas 7,30 sq.ft.
Hubungan antara berat kulit domba garaman, berat bloten, dan berat wet blue dengan
luas kulit jadi dapat diketahui dengan analisis multiple regression. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan program SPSS for Windows release 12.0 maka diperoleh persamaan matematis
sebagai berikut:
Y = -3,385 + 2,253 X1 + 0,998 X2 + 8,232 X3
Dimana :
Y = luas kulit kulit jadi; X1 = berat kulit garaman; X2 = berat bloten; X3 = berat wetblue; R
(squared) = 0.947; R² (multiple R) = 0.973; Fhit = 5.930; Ftab = 5.403
Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dilihat bahwa penambahan berat kulit
garaman, berat bloten, dan berat wet blue akan menyebabkan penambahan luas kulit jadi.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa nilai Fhit > Ftab, hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh sangat nyata (p < style="font-weight: bold;">Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasannya maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan yang signifikan ( P < style="font-weight: bold;">Persantunan
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada seluruh Pimpinan dan
Staff PT. Elco Indonesia Sejahtera, yang telah mengijinkan dilakukannya penelitian ini.

Daftar Pustaka
1. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1980. Istilah dan Definisi Untuk Kulit dan
Cara Pengolahannya. Standar Industri Indonesia (SII). No:0360-80. Jakarta.
2. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1989. Ukuran Luas Kulit Masak. Standar
Nasional Indonesia (SNI). No. 06- 0483-1989. Jakarta.
3. Badan Pusat Statistika. Statistik Indonesia. 2008. Jakarta.
4. Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung.
5. . 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Jilid 2. Tarsito.
Bandung.
6. Judoamidjodjo R, M. 1980. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Angkasa.
Bandung.
7. Parathasarathi K. 2000. Manual on Tanning And Finishing. Consultant UNIDO. India.
8. Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi
Kulit. Yogyakarta.
9. Sarkar K , T. 1995. Theory And Practice Of Leather Manufacture. Mahatma Gandhi
Road. Madras. India.
10. Sharphouse J.H. 1983. Leather Technician’s Handbook. Revised Edition. Vernon Lock
Ltd. London..
11. Thanikaivelan, P, J. R. Rao; B.U. Nair. 2005. Recent Trends in Leather Making:
Processes, Problems, and Pathways. Critical Reviews in Environmental Science and
Technology; 2005; 35, 1.
12. Winarno, S. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah. Edisi VII. Tarsito. Bandung.

Rabu, 12 Mei 2010

Semoga Bermanfaat

Bagi seluruh pembaca yang saya hormati, semoga tulisan yang dimuat dalam blog ini dapat bermanfat bagi kita semua.